Macapat merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang masih cukup terkenal hingga saat ini. Banyak yang mengenal macapat sebagai salah satu bentuk lagu Jawa.
Sebenarnya anggapan ini tidak salah. Namun, sebenarnya macapat merupakan salah satu bentuk sastra dalam budaya Jawa. Uniknya, karya sastra ini disampaikan melalui tembang (lagu) macapat.
Dalam jurnal Macapat dan Santriswara (Humaniora, No 1 Tahun 1989), Darusuprapta mengutip pendapat Poerwadarminta bahwa macapat adalah jenis tembang dalam gubahan puisi hasil karya sastra Jawa Baru.
Berbagai ragam jenis sastra Jawa tersebut sebagian ditulis dalam bentuk bahasa prosa dan sebagian lagi digubah dengan bentuk puisi. Teknik pembacaan prosa tersebut dituangkan dalam bentuk tembang macapat sehingga lebih menarik.
Jenis Tembang Macapat
Secara umum, masyarakat mengenal tembang macapat dalam 11 metrum, yaitu:
- Maskumambang
- Mijil
- Sinom
- Kinanti
- Asmarandana
- Gambuh
- Dandanggula
- Durma
- Pangkur
- Megatruh
- Pucung
Menurut Danusuprapta, masih ada 4 metrum macapat lain. Namun keempatnya saat ini sudah tidak begitu dikenal dan jarang digunakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keempat metrum tersebut adalah:
- Balabak
- Wirangrong
- Jurudemung
- Gurisa
Tembang Pucung
Salah satu metrum macapat yang paling dikenal adalah pucung. Sebab, tembang pucung relatif lebih pendek dibanding metrum lainnya.
Dikutip dari buku Macapat: Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna, Zahra Haidar menulis tembang pucung diibaratkan tahapan terakhir dalam kehidupan manusia, yaitu berada di alam baka.
Kata pucung atau pocong ditafsirkan sebagai orang yang sudah meninggal dan berada di dalam kubur.
Meski demikian, prosa yang berbentuk tembang pucung justru rata-rata bersifat jenaka. Ada kalanya tembang ini berisi tebak-tebakan untuk menghibur hati.
Contoh tembang pucung ada di halaman berikutnya: