Pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu membuat sebuah kawasan yang dikhususkan untuk golongan Eropa di Semarang. Kawasan tersebut dikelilingi benteng dan dikenal sebagai Little Netherland.
Keberadaan benteng itu selain bertujuan sebagai pemisah antara golongan Eropa dan pribumi juga bertujuan sebagai sarana pertahanan.
Tentu saja, di dalam kawasan tersebut juga disediakan beberapa tempat publik yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat Eropa, seperti rumah, gereja hingga perkantoran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu sebagai pelengkap adalah gedung tempat pertunjukan yang dinamakan Gedung Komidi StadSchowburg.
Dikutip dari jurnal Kajian Ikonografi pada Gedung Marabunta di Semarang (Jurnal Intra, Vol 2, No 2, 2014), bangunan yang kini dikenal sebagai Gedung Marabunta itu sempat terbengkalai pada awal era kemerdekaan.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Lois Debora Sudarmono itu disebutkan beberapa yayasan sempat menjadi pengelola gedung itu. Namun, pada 1994 akhirnya gedung itu roboh karena dimakan usia. Yayasan Rumpun Diponegoro yang dekat dengan militer lantas merekonstruksi ulang bangunan tersebut.
Proses rekonstruksi tetap mempertahankan bentuk asli bangunan bergaya kolonial itu. Meski demikian, beberapa sentuhan gaya nasionalis tetap masuk mengingat pembangunan dilakukan oleh yayasan yang dekat dengan militer.
Salah satu keunikan yang ada di bangunan tersebut adalah adanya sepasang patung semut merah di bagian depan. Menurut Debora, sepasang semut itu merupakan semangat gotong royong dan ketekunan.
Patung semut tersebut juga menjadi dasar penamaan Marabunta untuk gedung yang sebelumnya bernama Gedung Komidi StadSchowburg. Semut Marabunta merupakan jenis semut asal Afrika yang merupakan jenis semut tentara.
"Nama Marabunta sebagai semut tentara direpresentasikan seperti para tentara TNI di bawah naungan (Yayasan) Rumpun Diponegoro," tulis Debora dalam jurnalnya.
Secara keseluruhan, bentuk dan bangunan ornamen Gedung Marabunta memiliki langgam Indo-Eropa. Bentuk arsitektur dan ornamennya memiliki ukuran melebihi proporsi manusia, seperti pintu yang tinggi dan jendela yang lebar.
Hal tersebut untuk menunjukkan sebuah status sosial, kebesaran dan kekuasaan.
Gaya Renaissance pada bangunan itu juga cukup kental dengan pemilihan warna krem dan putih. Langgam bangunan era kolonial semakin terlihat dengan penggunaan kaca patri di pintu maupun jendela.
Saat ini bangunan ini bisa ditemukan di kawasan Kota Lama Semarang, tepatnya berada di Jalan Cendrawasih. Patung semut yang ada di bagian muka bangunan menjadi pembeda dengan gedung era kolonial lain yang ada di kawasan itu.
(ahr/dil)