Buruh di Jawa Tengah (Jateng) menyoroti Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan yang rencananya bakal dipakai pemerintah pusat. RPP dinilai tak bisa dijadikan acuan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) karena membuat upah tak naik signifikan.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Unsur Dewan Pengupahan Jateng, Karmanto, menyebut draf RPP yang beredar tidak memberikan perbaikan signifikan dibanding PP 36/2021. Bahkan, menurutnya, justru mempertegas jurang upah antarwilayah.
"Mundurnya penetapan UMP dan UMSP tahun 2026 ini juga dampak dari RPP 36/2021. RPP ini sebenarnya tidak lebih baik daripada putusan MK nomor 168, karena dalam RPP tersebut masih menggunakan pertimbangan alfa indeks tertentu, ini hanya kisaran 0,2 sampai 0,7," kata Karmanto saat dihubungi detikJateng, Minggu (23/11/2025).
Ia mengatakan, aturan baru tersebut justru membuat kenaikan UMP Jateng makin seret dan jauh dari angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Padahal selama ini UMP Jateng masih belum sesuai KHL.
"Indeks alpha 0,2 sampai 0,7 itu akan menjadi pengali, yang nantinya membuat upah tidak bergerak. Seandainya naik tentu tidak sesuai dengan standar kebutuhan hidup layak," ujarnya.
"UMP tahun 2025 saja masih kisaran 70 persen, belum 100 persen. Kalau dihitung sesuai survei BPS tahun 2023, kebutuhan hidup layak kalau di tahun 2025 ini di kisaran Rp 2,8 juta. Jawa Tengah masih hutang kepada buruh itu sekitar 30 persen," lanjutnya.
Dengan formula RPP baru, Karmanto mencontohkan, perbedaan upah Jateng dengan provinsi industri besar seperti DKI, Jabar, dan Jatim akan semakin tidak terkejar. Terlebih, ia menilai kebutuhan pokok yang biasa dibeli di Kota Semarang sebagai ibu kota Jateng dengan ibu kota lainnya tak jauh berbeda.
"UMP DKI Jakarta itu di titik Rp 5,6 juta. Jadi umpamanya persentase kenaikan upah 10 persen se-Indonesia, Jawa Tengah semakin ketinggalan dengan daerah yang lain," ujarnya.
"Jawa Tengah hanya nambah kisaran Rp Rp 218.000, karena 10 persen dari UMP sekarang Rp 2,1 juta. Nah, ini semakin terjadi disparitas yang tidak terkendali," lanjutnya.
Merespons RPP, buruh mengajukan angka UMP Jateng 2026 Rp 3,1 juta. Sedangkan untuk Kota Semarang, mereka mengusulkan UMK Rp 4,1 juta berdasarkan nilai KHL hasil survei pasar.
"KHL Jateng itu Rp 2,8 juta dari survei BPS. Jadi kalau UMP cuma naik sedikit karena indeks alfa, kapan bisa layak," ujar Karmanto.
Ia mengatakan, para buruh akan terus bersuara agar UMP bisa naik mencapai 10 persen sesuai tuntutan mereka.
"(Optimistis tercapai?) Semoga tercapai, karena RPP ini bukan sebagai regulasi yang baik ternyata. Karena masih menyertakan nilai alfa atau indeks tertentu 0,2 sampai 0,7," tuturnya.
"Kami tentu akan mengupayakan segala daya upaya kami agar Jawa Tengah formulanya tidak lebih rendah dari 10 persen. Kalau bisa ya di atas 10 persen (kenaikannya), karena memang belum 100 persen KHL," lanjutnya.
Para buruh pun mendesak pemerintah pusat meninjau ulang RPP sebelum disahkan. Mereka tak mau Jateng terus dikenal sebagai daerah dengan upah murah yang membuat karyawannya tak sejahtera.
"Kalau pemerintah mau bicara keadilan sosial, maka formula pengupahan harus berpihak pada buruh yang upahnya paling rendah. Bukan disamaratakan menggunakan persentase," ujar Karmanto.
Ketua KSPI Jateng, Aulia Hakim, juga menilai RPP ini membuat upah Jateng sulit mengejar ketertinggalan. Terlebih jika UMK Semarang dibandingkan dengan Surabaya dan Bandung sudah cukup jauh selisihnya.
"Kita bisa setara dengan DKI. Makanya tolonglah indeks ini dipertimbangkan, pengalinya jangan 0,7 tetapi 1 yang kita minta. Kita berbicara Kota Semarang Rp 3,4 juta, Bandung Rp 4,4 juta, kesenjangan Rp 1 juta," tuturnya.
Aulia menambahkan, tahun lalu kenaikan UMP dipatok 6,5 persen dengan indeks 0,8. Jika RPP baru disahkan dengan indeks lebih rendah, kenaikan UMP Jateng tahun depan bukan tak mungkin bisa kurang dari 6,5 persen.
"Kan RPP sudah muncul. Setelah kita klarifikasi, draf RPP itu dari mana, belum ada yang bisa menjawab. Apakah itu RPP yang muncul itu dari pemerintah atau dari pengusaha?," ujarnya.
"Kalau nanti RPP menjadi PP, kan dilempar ke daerah, mungkin bisa muncul (kenaikan) lebih dari 6,5 persen. Tetapi kalau nanti PP-nya yang akan muncul itu bisa berubah lagi, bisa jadi Jawa Tengah lebih rendah daripada 6,5 persen," lanjutnya.
Aulia juga mengingatkan bahwa ancaman investor kabur akibat kenaikan upah hanyalah narasi lama.
"Upah di Jateng paling rendah se-Indonesia, tapi PHK-nya justru paling tinggi. Jadi jelas bukan upah yang jadi masalah," kata Aulia.
(dil/afn)