Melacak Jejak 'Kutang Suroso', Pelopor Industri BH Kelas Rakyat

Terpopuler Sepekan

Melacak Jejak 'Kutang Suroso', Pelopor Industri BH Kelas Rakyat

Tim detikJateng - detikJateng
Sabtu, 18 Okt 2025 10:03 WIB
Kutang Suroso produksi Juwiring Klaten yang masih bertahan.
Kutang Suroso produksi Juwiring Klaten yang masih bertahan. Foto: Achmad Hussein Syauqi/detikJateng
Klaten -

Pada masa awal kemerdekaan, perempuan di Indonesia biasa menggunakan lilitan kain untuk menutupi dadanya. Kebiasaan itu berakhir setelah produk BH alias bra alias kutang kelas rakyat akhirnya tersedia di pasaran.

Siapa sangka salah satu pelopor industri BH itu ternyata berasal dari Juwiring, sebuah kecamatan di pelosok Klaten. Selama sepekan terakhir detikJateng mencoba menelusuri pabrik BH yang sudah eksis sejak 1960 ini.

Industri kutang itu ternyata berdiri di sebuah rumah sederhana di Dusun Duwetan, Desa Tanjung, Kecamatan Juwiring. Pemiliknya bernama Suroso yang saat ini telah wafat. Dia menyematkan namanya di produk yang dirintisnya 65 tahun lalu, Kutang Suroso.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kades Tanjung, Kecamatan Juwiring, Sumento menyebut rumah tersebut sudah memproduksi BH sejak 1960. Selanjutnya, sekitaran 1980 Kutang Suroso mencapai era kejayaannya.

ADVERTISEMENT

"Masa moncer (jaya) itu tahun 1980 an, saat saya masih kecil. Waktu itu karyawan lumayan banyak," ungkap Sumento saat diminta konfirmasi detikJateng, Rabu (8/10/2025).

Hadirnya BH modern yang mengikuti mode terbaru membuat Kutang Suroso meredup. Namun usaha konfeksi itu masih tetap bertahan.

"Sekarang ya masih tapi diteruskan putranya," imbuh Sumento.

Era Keemasan Kutang Suroso

Dalam penelusuran ini detikJateng berkesempatan berbincang dengan salah satu pekerja di usaha Kutang Suroso yang masih tersisa. Samto (66), demikian nama pekerja itu, menceritakan bahwa usaha itu didirikan oleh Suroso sekira 1960.

"Mulai produksi itu sekitar tahun 1960-an. Pak Suroso itu sebenarnya penjahit, awalnya membuat baju gamis, jas, juga hem tapi kemudian membuat kutang itu," tutur Samto yang menjadi tukang potong kain.

Diceritakan Samto, sosok juragannya merupakan orang yang kreatif dan aslinya dari Ketandan, Klaten Utara. Selain membuat kutang juga pernah merancang long dress wanita.

"Pernah buat long dress ramai tahun 1979 tapi yang ramai ya kutang. Puncaknya tahun 1970-1977 itu bisa seminggu 100 pis (1 pis isi 100 biji), itu cuma di pasar Klewer tapi kirimnya sampai luar Jawa," kata Samto yang bekerja sejak tahun 1977 itu.

Menurut Samto, ramainya peminat kutang Suroso membuat pesanan meningkat pesat sehingga ada dua lokasi produksi. Satu di Juwiring dan satu di kota Solo.

"Jahitnya disini (Juwiring) motongnya di Solo. Jadi saya itu kalau berangkat kerja ke Solo, tempatnya sekitar Manahan," lanjut Samto.
Sebagian besar hasil produksi itu memang mengalir ke pasar-pasar tradisional. Pangsa pasar Kutang Suroso adalah masyarakat menengah ke bawah.

"Ya kirimnya semua di pasar Klewer (Solo). Tapi saya pernah ke Palembang tahun 2009, waktu itu harga kutang Suroso (di Palembang) sudah Rp 17.000 padahal disini cuma Rp 7.000," tutur Samto.

Era Surut Kutang Suroso

Tren mode yang terus berkembang membuat industri Kutang Suroso kini redup. Pekerjanya yang dulu mencapai ratusan kini hanya tinggal puluhan. Rata-rata pekerja hanya mengambil bahan kemudian membawanya pulang untuk dikerjakan di rumah.

"Sekarang tidak mesti, paling sekarang saya sebulan motong tiga kali. Paling sekarang 30 pis sebulan, dulu sampai 100 pis, dulu belum banyak saingan," lanjut Samto.

Di Desa Tanjung sendiri, sambung Suroso, juga muncul model usaha baru yang membuat kutang Suroso makin sepi. Usaha itu membuat sprei, bungkus bantal sampai gorden.

"Sekarang sini banyak yang buat sprei, sarung bantal dan gorden. Kutang Suroso yang meneruskan sekarang satu putra pak Suroso, ya tetap tidak ganti merek," terang Samto.

Karyawan lain, Sri Lestari menyatakan meski banyak BH modern tetapi kutang Suroso tetap berproduksi.

"Sekarang seminggu paling 10 pis, satu pis isi 100, padahal dulu sampai 60 pis. Sekarang sudah jauh berkurang, peminatnya juga berkurang karena modelnya tidak ganti," ungkap Sri Lestari.

Menurut Sri Lestari, meski tetap berproduksi saat ini pekerjanya tinggal sekitar 20 an, itupun di rumahan. Warga sudah tidak banyak tertarik.

"Warga sudah tidak tertarik bikin ini (kutang Suroso) rumit, lebih tertarik bikin sprei. Dulu 100 orang ada, mungkin lebih yang garap, sekarang disini cuma tinggal saya dan pak Samto," kata Sri Lestari.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Terpopuler Sepekan: Soeharto Pahlawan-Aksi Cium Gus Elham Tuai Kecaman"
[Gambas:Video 20detik]
(ahr/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads