Wakil Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Taj Yasin Maimoen atau Gus Yasin buka suara setelah salah seorang warga Kabupaten Semarang sambat soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) naik hingga 441 persen.
Gus Yasin mengatakan, kenaikan PBB memang wajar terjadi setiap tahun. Tapi dia mengingatkan bahwa kebijakan harus mengedepankan diskusi terbuka dengan masyarakat dan semua pihak terkait.
"(PBB di Kabupaten Semarang naik 441 persen, tanggapannya?) Yang penting sesuai aturan aja dan ruang diskusi dengan publik, masyarakat, harus betul-betul ditekankan. Dibuka ruang-ruang diskusi," kata Gus Yasin saat ditemui wartawan di Bank Indonesia, Kota Semarang, Kamis (14/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan sampai kejadian kemarin itu menjadi polemik di pemerintahan yang lain. Jadi, harus ada ujiannya," sambungnya.
Menurut Gus Yasin, sebelum kenaikan PBB diberlakukan, pemerintah daerah wajib menggelar dengar pendapat yang melibatkan kepala desa, LSM, dan stakeholder lain.
"Harus disosialisasikan dulu, didengarkan dulu masyarakat, diserap dulu, berapa persen sih mau naiknya," ujarnya.
Gus Yasin menyebut, besaran kenaikan PBB juga perlu disesuaikan dengan kemampuan warga.
"Artinya kita melihat per daerahnya. Tidak bisa terus ini nggak boleh ada kenaikan, nggak bisa. Pasti ada kenaikan, tetapi yang wajar, itu saja," kata dia.
Selain dari pajak masyarakat, Gus Yasin mendorong peningkatan pendapatan daerah melalui sektor investasi.
"Ada pajak yang berhubungan dengan masyarakat secara langsung, ada pajak yang dari investasi," ucap Gus Yasin.
"Nah, ini yang saat ini kita genjot di Jawa Tengah untuk para investor datang ke Jawa Tengah untuk menanamkan sahamnya. Ini yang kita kelola baik, sehingga PAD kita tetap naik, tetapi tidak membebankan masyarakat," imbuh dia.
Diberitakan sebelumnya, warga Ambarawa, Kabupaten Semarang, Tukimah (69) dikejutkan oleh nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) rumahnya yang naik hingga 441 persen. Keponakannya, Andri Setiawan (42), lalu meminta keringanan ke Pemkab Semarang.
Andri yang merupakan warga Banyumanik dan kerap pulang ke rumah Tukimah di Baran, Kauman, Ambarawa, itu mengaku kaget lantaran PBB rumah budenya naik drastis, dari sekitar Rp 160 ribu menjadi Rp 872 ribu.
"Kenaikannya 441 persen, sampai lima kali lipat. Awalnya kami kira salah ketik," kata Andri saat dihubungi detikJateng, Selasa (12/8/2025).
Andri menceritakan, awalnya ia mendapat Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dari RT sekitar dua bulan lalu. Saat melihat nominal yang tertera, ia terkejut. Tahun lalu, SPPT atas nama almarhum kakeknya yang sudah meninggal hanya memuat nilai tagihan sekitar Rp 160 ribu.
"Begitu saya cek tahun ini, nilainya Rp 870 ribu. Di berita katanya NJOP naik, iya, tapi kenaikannya (NJOP) cuma dua kali lipat. Kok PBB bisa naik lima kali lipat," ujarnya.
Ia lalu membandingkan SPPT tahun sebelumnya dengan SPPT yang terbaru. Dia bilang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) memang melonjak dari sekitar Rp 400 jutaan menjadi Rp 1 miliaran. Menurutnya, persentase kenaikan PBB itu tidak sebanding dengan kenaikan NJOP.
"Terus saya nggak diam saja, saya ngajukan keringanan. Pertama saya mengajukan itu kan antrenya lama, nggak dipanggil-panggil. Sampai antreannya habis saya baru maju, baru dilayani," ujar dia.
"Terus dilayani sama salah satu staf, diminta ganti nama atas namanya bude. Bude kan janda, biar nanti dapat keringanan 70 persen. Saya manut (ngikut). Terus dikasihlah berkas-berkasnya," sambungnya.
Andri lalu mengurus ke RT, RW, kelurahan, dan kecamatan. Dalam seminggu prosesnya selesai. Namun saat ia kembali, petugas lain memberitahu dia bahwa ada kesalahan prosedur.
"Disuruh ganti pakai formulir keringanan biasa, maksimal cuma dapat 20-50 persen," ucap Andri.
Dia mengaku bolak-balik kantor pajak sampai tiga kali. Terakhir, ia diminta menunggu keputusan hingga September.
"Masalahnya, batas bayar PBB sampai Agustus. Kalau surat keputusan keringanan keluar September, nanti malah kena denda. Itu yang bikin saya khawatir," kata dia.
Andri mengaku kecewa dan keberatan karena menurutnya tidak ada sosialisasi sebelum adanya kenaikan tarif tersebut. Ia juga mempertanyakan dasar kenaikan nilai PBB yang didasarkan pada kedekatan rumah budenya dengan jalan raya Ambarawa-Bandungan dan di belakang rumah budenya ada perumahan.
"Dianggapnya yang bikin naik karena rumah dekat jalan utama. Kalau itu sudah dari dulu kala di situ, terus kalau alasannya di belakang sudah dibangun perumahan, itu sudah 10 tahun perumahannya," ujar Andri.
Selangkapnya di halaman selanjutnya.
Andri juga mempertanyakan mengapa kenaikan nilai PBB itu baru terjadi saat ini.
"Kenaikan ini agak kurang bisa diterima. Bude kan juga janda tanpa penghasilan tetap, bukan pensiunan, cuma punya warung kecil, agak berat kalau bayar Rp 870 ribu dari yang sebelumnya cuma Rp 160 ribu," tuturnya.
"Sangat jauh dari adil, seharusnya dipertimbangkan lebih matang, disurvei, bagaimana kemampuan wajib pajak, latar belakangnya. Kalau hanya karena belakangnya sudah perumahan, sudah kaya-kaya, kasihan yang miskin, ketimpangan," imbuh dia.
Andri berharap ada peninjauan ulang, tak sekadar keringanan nilai PBB.
"Kami minta ada peninjauan ulang dan penyesuaian tarif yang lebih manusiawi. Kalau kenaikannya rasional, kami siap bayar. Tapi kalau dari Rp 160 ribu jadi Rp 870 ribu, itu tidak masuk akal," pungkasnya.
Penjelasan Badan Keuangan Daerah Kabupaten Semarang
Sementara itu Kepala BKUD Kabupaten Semarang, Rudibdo membenarkan bahwa memang ada kenaikan PBB yang signifikan di beberapa titik. Ia menjelaskan penyebabnya.
Rudibdo mengatakan, penyesuaian PBB dilakukan setelah ada penilaian terbatas di bidang tanah yang mengalami perubahan nilai, khususnya yang berada di ruas jalan strategis.
"Khususnya di ruas jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten, juga dalam rangka menyesuaikan nilai Zona Nilai Tanah (ZNT) yang dikeluarkan oleh BPN," kata Rudibdo saat dihubungi detikJateng, Selasa (12/8/2025).
"Obyek pajak tersebut berada di ZNT yang nilai jualnya berada di kisaran Rp 2-5 juta. Namun karena dilakukan secara bertahap," lanjutnya.
Ia menambahkan, NJOP objek pajak milik Tukimah yang disebut naik 441 persen tersebut juga sudah belasan tahun tidak pernah dinilai ulang.
"NJOP-nya saat ini masih di kisaran 1,2 juta per meter. Dengan luasan kurang lebih 1.240 sekian meter persegi. Di SPPT lama juga belum menghitung tambahan bangunan baru," jelas Rudibdo.
Dia menegaskan, tidak semua warga mengalami kenaikan PBB. Ia menerangkan, ada belasan ribu SPPT yang pajaknya justru turun. Penurunan ini terutama terjadi pada lahan pertanian dan peternakan.
"Setelah dilakukan penilaian ulang ada 13.912 SPPT yang pajaknya mengalami penurunan," ungkapnya.
Menanggapi keluhan warga, Rudibdo memastikan Pemkab Semarang membuka ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan atau penilaian ulang jika ada yang keberatan.
"Sangat mungkin (penilaian ulang) bahkan bupati juga memberikan keringanan bagi wajib pajak yang mengajukan permohonan," kata dia.