Perajin Mendoan dan Tahu di Banyumas Sambat Imbas Dolar Naik

Perajin Mendoan dan Tahu di Banyumas Sambat Imbas Dolar Naik

Anang Firmansyah - detikJateng
Kamis, 17 Apr 2025 15:54 WIB
Perajin tempe mendoan yang menggunakan bahan baku kedelai impor dari Amerika di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Kamis (17/4/2025).
Perajin tempe mendoan yang menggunakan bahan baku kedelai impor dari Amerika di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Kamis (17/4/2025). Foto: Anang Firmansyah/detikJateng.
Banyumas -

Para perajin tahu dan mendoan di Kabupaten Banyumas yang menggunakan bahan baku kedelai impor dari Amerika mulai merasakan dampak kenaikan dolar. Mereka harus rela keuntungannya berkurang akibat kondisi ini.

Martiani, salah satu perajin tempe mendoan di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran mengatakan kedelai yang dipakai untuk membuat bahan baku ini berasal dari Amerika.

"Kedelainya impor dari Amerika. Harganya terus saja naik setiap hari. Ini produksinya jadi terganggu," kata dia kepada wartawan saat ditemui, Kamis (17/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengungkapkan kondisi tersebut sudah terjadi sejak awal bulan puasa. Setiap harinya terus merangkak naik.

"Setiap hari naik (harga kedelai), dari Rp 100 atau Rp 200 kaya gitu. Pas puasa itu ya sekitar Rp 9.500 per kilogram. Kalau sekarang ya sudah sampai Rp 10.000 per kilogram," terangnya.

ADVERTISEMENT

Martiani menyebut setiap harinya dirinya mampu memproduksi sampai 20 kg bahan tempe mendoan. Jumlah tersebut nantinya dijual di sejumlah pasar tradisional.

"Itu kalau perhari nya bisa bikin sampai 300 bungkus. Tapi kalau lagi ramai kaya kemarin pas Lebaran bisa bikin sampai 2.000 bungkus," ujar dia.

Ia memiliki alasan tersendiri menggunakan kedelai impor. Secara kualitas berbeda dengan kedelai lokal.

"Kalau dengan kedelai lokal itu ya kualitasnya kurang bagus. Beda sama kedelai yang impor. Lebih banyak yang kedelai impor," ucap dia.

Dalam menghadapi kenaikan harga kedelai ini, ia hanya bisa pasrah. Sebab jika menaikkan harga atau memperkecil ukuran ia khawatir para pelanggan akan kabur.

"Ya hanya bisa pasrah. Tapi ya keuntungannya jadi semakin tipis," akunya.

Sementara itu, hal yang sama juga dirasakan oleh Nono perajin tahu di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok. Ia bahkan menyiasati dengan mengecilkan ukuran agar tidak merugi.

"Kalau harga kedelai mahal pasti mengurangi pendapatan. Untuk menyiasatinya menambah cetakan alias mengubah bentuk jadi lebih kecil," katanya.

Ia berharap pemerintah turun tangan agar kedelai bisa kembali harga normal bekisar Rp 9.000. Hal ini agar para perajin tidak gulung tikar.

"Saya mintanya harga stabil seperti sebelumnya, jangan naik terus terusan akan mengurangi pendapatan. Harapan kami pemerintah menstabilkan harga kedelai jika tidak perajin terancam gulung tikar," pungkasnya.




(apl/afn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads