.webp)
Sebuah bangunan bersejarah dengan tulisan merah 'Pabrik Rokok Praoe Lajar' di tengah Kota Lama Semarang cukup menarik perhatian. Dari luar terlihat sepi, tapi di dalamnya ada ratusan orang yang memproduksi rokok dengan metode manual menggunakan alat yang sudah berusia puluhan tahun.
Untuk diketahui, lokasi pabrik rokok Praoe Lajar ini tidak jauh dari Polder Tawang. Pintu pabriknya yang bercorak merah putih menjadi daya tarik, banyak wisatawan yang berfoto di sana.
detikJateng berkesempatan masuk ke pabrik itu. Pantas tampak sepi dari luar, ternyata motor para pekerjanya diparkir di dalam. Tempat parkirnya bertingkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Suasana di dalam pabrik rokok Praoe Lajar di Kota Lama Semarang, Rabu (9/10/2024). Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikJateng |
Di seberang tempat parkir itu ada ruangan yang berisi seratusan orang berseragam merah, mayoritas wanita. Mereka duduk saling berhadapan di meja-meja panjang, sedang melinting rokok dengan alat yang menempel di meja itu.
Meski berada di tengah gedung-gedung Kota Lama dan di tepi jalur utama Jalan Merak, suasana di dalam pabrik itu terbilang minim polusi suara.
"Ini alatnya sudah lama, jauh sebelum saya lahir, saya sendiri tidak tahu kapan pastinya," kata manajer sekaligus generasi keempat dari pemilik Praoe Lajar, Aditya Wibowo Setia Budhi (24) saat ditemui di pabriknya, Rabu (9/10/2024).
 Suasana di dalam pabrik rokok Praoe Lajar di Kota Lama Semarang, Rabu (9/10/2024). Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikJateng |
Aditya mengatakan Praoe Lajar sudah ada sejak 5 Mei 1945 di Kampung Kledung Semarang. Kemudian sempat pindah ke daerah Pusponjolo, hingga akhirnya pindah ke lokasi saat ini di Kota Lama pada 7 Mei 1952.
"Sebelumnya gedung ini dipakai perusahaan listrik swasta Belanda, Maintz and co. Karena kondisi yang banjir, gedung ini sudah dinaikkan sampai 1,5 meter," ujar Aditya.
Semua proses produksi dilakukan secara manual di pabrik ini demi menjaga orisinalitasnya. Hal itu terlihat dari pekerja lelaki yang mencampur tembakau dan saus menggunakan alat seperti sekop. Juga saat para pekerja wanita melinting rokok dan mengemasnya.
"Jadi ciri khas tanpa gunakan kimia, semua rempah dan herbal. Murni pakai tembakau lokal Jawa. Paling jauh Madura. Ini semua manual, lem saja dari tepung kanji bikin sendiri," ungkap Aditya.
Ada sekitar 300 karyawan yang bekerja di pabrik itu, mayoritas warga Semarang Utara dan sebagian dari luar kota. Dalam sehari, pabrik itu rata-rata memproduksi 500 ribu batang rokok per hari.
Meski demikian, produk rokok Praoe Lajar jarang ditemui di toko-toko apalagi di minimarket modern. Ternyata pelanggannya para nelayan di pesisir Pantura (Pantai Utara Jawa Tengah).
"Pemasaran kita fokus di Pantura Jateng, Pekalongan, Tegal dan lainnya. Kita main di pinggirannya aja," ucap Aditya.
Sebagai perusahaan rokok, Aditya mengaku taat hukum, salah satunya dengan memasang pita cukai resmi. Dia berharap produsen lain juga menaaati hal tersebut agar tidak merugikan para pembuat rokok legal.
"Kita pabrik rokok ya harus sadar. Sadar memang harus dibatasi dengan cukai salah satunya. Yang tidak pakai cukai ya memberatkan negara, yang legal kena dampaknya," kata Aditya.
Punya pabrik di kawasan Kota Lama Semarang ternyata cukup menantang saat musim hujan datang. Aditya merasa bersyukur ketika banjir tinggi pada akhir 2022 lalu airnya tidak sampai masuk ke gudang.
"Pernah banjir besar itu masuk, puji Tuhan tidak kena tembakaunya. Tapi produksi dihentikan saat itu karena akes ke sini juga susah," jelas Aditya.
(dil/dil)
