Benang kusut persoalan sampah di dataran tinggi Dieng perlahan mulai terurai. Bertahun-tahun gunungan sampah yang kerap dikeluhkan wisatawan, kini justru mendatangkan berkah bagi warga.
Lahan Perhutani di Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur, Banjarnegara menjadi saksi bisu tumpukan sampah yang menggunung selama puluhan tahun di Dieng. Padahal, tumpukan sampah ini berada di tepi jalan menuju objek wisata Kawah Sikidang, atau hanya berjarak sekitar 200 meter dari objek wisata tersebut.
Kondisi ini pun menjadi persoalan yang terus menghantui para pelaku wisata di Dieng. Salah satunya karena bau sampah yang menyengat dan kerap dikeluhkan wisatawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sering menerima keluhan dari wisatawan terkait tumpukan sampah. Karena wisatawan tidak mencium aroma kawah, tetapi mencium bau sampah," ujar Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono saat ditemui di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Dewanata, Dieng, Selasa (5/9/2023).
Di sisi lain, Dieng menjadi salah satu desa dengan penghasil sampah terbanyak. Satu minggu sampah yang terkumpul bisa mencapai 24 ton. Padahal bertahun-tahun Dieng tidak memiliki tempat pembuangan akhir (TPA).
![]() |
"Persoalan sampah di Dieng ini memang luar biasa. Dieng tidak ada TPA, mungkin jangka waktu 3-4 tahun ini kita sudah tidak punya tempat lagi untuk buang sampah. Padahal sebagai desa wisata, Dieng ini menjadi salah satu desa penghasil sampah terbanyak. 1 minggu bisa sampai 24 ton sampah. Belum lagi saat ada event," ungkapnya.
Beruntung, tumpukan sampah yang menggunung di Dieng saat ini hanya tinggal cerita. Tepatnya setelah dibangun TPST Dewanata pada awal tahun 2023 ini.
Bangunan seluas 500 meter persegi saat ini digunakan untuk memilah sampah. Dengan menggunakan mesin pemilah sampah, pengelola TPST yang merupakan warga Desa Dieng Kulon ini kemudian memilah sampah organik dan non organik.
"Awal tahun ini ada bantuan dari Bank Indonesia kantor perwakilan Purwokerto untuk membuat TPST dan mesin pemilah sampah. Jadi sudah ada 7 bulan ini tidak ada sampah yang menumpuk di luar," terangnya.
Sementara itu, ketua pengelola TPST Dewanata Kabul Suwoto mengatakan, melalui bantuan mesin pengolahan sampah dari Bank Indonesia ini memudahkan proses pemilahan sampah. Sampah organik dimanfaatkan untuk pupuk tanaman kentang, sementara sampah plastik dijual.
"Sampah plastik ini laku dijual. Sementara untuk sampah organik masih dimanfaatkan untuk pupuk tanaman kentang. Hasilnya cukup bagus untuk tanaman," kata dia.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saat ini rata-rata ada 5 ton sampah dari 1.000 KK di Dieng yang dipilah di TPST setiap harinya. Dari jumlah tersebut, 2 ton di antaranya adalah sampah plastik yang laku untuk kembali dijual dengan harga mencapai Rp 1 ribu per kilogram.
"Untuk harga sampah plastik ini harganya tidak pasti. Biasanya paling rendah Rp 250 per kilo dan paling tinggi Rp 1 ribu per kilonya," sebutnya.
Terpisah, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto Rony Hartawan mengatakan saat ini BI tengah konsen menjadikan dataran tinggi Dieng menjadi sektor pariwisata hijau. Hal tersebut sulit terwujud jika daerah sekitar masih terlihat kotor.
"Kita tahu bahwa ekonomi hijau menjadi sumber perekonomian baru. Bagaimana warga justru akan mendapat tambahan penghasilan dari perputaran sampah ini," katanya.
Namun demikian, ia menambahkan, TPST di Dieng saat ini masih belum optimal. Sebab, masih belum menyentuh pengolahan sampah. Masih sebatas memilah sampah.
"Kita belum ngomongin pengolahan sampah menjadi paving block, batako hingga maggot. Ini yang harus dipikirkan ke depannya," tambahnya.