PGRI Jateng Tolak Wacana 6 Hari Sekolah: Itu Jalan Mundur!

PGRI Jateng Tolak Wacana 6 Hari Sekolah: Itu Jalan Mundur!

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Minggu, 23 Nov 2025 19:22 WIB
Ilustrasi Sekolah di Jepang
Ilustrasi Sekolah. Foto: iStock
Semarang -

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah (Jateng) buka suara soal wacana penerapan enam hari sekolah. Ketua PGRI Jateng, Muhdi, menyebut wacana itu sebagai 'jalan mundur'.

"Saya kira saat ini tidak ada alasan yang cukup untuk mengubah. Dulu pemerintah mengubah 5 hari kerja dengan alasan-alasan yang cukup rasional," kata Muhdi saat dihubungi detikJateng, Minggu (23/11/2025).

Ia mengatakan, dulu pemerintah sendiri yang mengubah jadwal enam hari sekolah menjadi lima hari sekolah dengan pertimbangan rasional, terutama alasan soal waktu anak bersama keluarga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau tujuan 6 hari sekolah agar siswa diawasi, tugas pendidikan anak kan tidak hanya oleh guru. Orang tua juga punya tanggung jawab pendidikan anaknya, jangan lalu kita bolak-balik," tegasnya.

Muhdi menyoroti tuntutan siswa saat ini yang semakin banyak tetapi sekolah pun tidak mampu memfasilitasi. Sehingga menurut dia tetap perlu adanya waktu lebih bagi siswa bersama dengan keluarga.

ADVERTISEMENT

"Sekarang anak-anak harus punya soft skill, hidup bermasyarakat. Lalu jika waktunya dihabiskan di sekolah bagaimana mungkin," ujarnya.

"Kan sekolah juga tidak mampu menyiapkan sepenuhnya sarana-prasarana untuk anak-anak kita memilih skill, untuk mengembangkan hobinya misalkan," lanjutnya.

Menurut Muhdi, kebijakan lima hari sekolah yang berlaku selama ini sudah selaras dengan program Kementerian Pendidikan terkait Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat dan Delapan Karakter Utama Bangsa.

"Anak-anak perlu waktu hidup di lingkungan masyarakatnya. Dua hari libur itu waktu mereka bersosialisasi, ikut kegiatan positif," ucapnya.

Muhdi menambahkan, ritme lima hari sekolah memberikan ruang bagi keluarga untuk menjaga hidup yang seimbang baik bagi orang tua siswa maupun guru.

"Guru itu juga orang tua. Mereka butuh dua hari untuk berkumpul dengan keluarga, memulihkan fisik dan mental. Sabtu-Minggu juga biasanya dipakai guru untuk mengembangkan keprofesian, seperti MGMP. Kalau enam hari makin berat," tegasnya.

"Anak SMA/SMK juga banyak yang sekolahnya jauh. Dengan lima hari saja sudah berat, kalau enam hari transportasinya bertambah lagi satu hari," imbuhnya.

Saat ditanya soal argumen bahwa enam hari sekolah bisa mencegah siswa melakukan hal negatif, Muhdi menilai alasan itu tidak berbasis kajian.

"Aneh-aneh yang dimaksud apa? Kalau misalkan demo justru pada saat hari sekolah, mereka pulang sekolah langsung melakukan itu karena mereka berkumpul di sekolah. Jadi hal-hal itu bukan hasil kajian yang cukup," kata dia.

"Coba sisi lain, bukankah banyak anak yang pada hari Sabtu libur, mereka beraktivitas yang positif dengan mengembangkan hobi, soft skill, kompetensi diri," sambungnya.

Muhdi juga mengingatkan tren dunia justru bergerak ke arah pengurangan hari sekolah, bukan penambahan.

"Skandinavia (sekolah) 5 hari, Eropa 5 hari, Amerika bahkan banyak yang 4 hari sekolah. Kalau kita balik lagi ke 6 hari itu jalan mundur. Semua kajian mendorong jam belajar dikurangi, bukan ditambah," tegasnya.

Muhdi mengungkapkan, hingga kini PGRI Jateng belum pernah diajak berdiskusi atau dilibatkan dalam proses kajian wacana sekolah enam hari.

"Sampai saat ini belum pernah. Kami bahkan bingung kajiannya di mana. Padahal undang-undang jelas, organisasi profesi harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan pendidikan," katanya.

Muhdi juga mengaku mendapat keluhan dari para guru yang kehidupannya sudah tertata dengan ritme lima hari sekolah.

"Mereka sudah menyesuaikan diri dan merasakan manfaatnya. Tiba-tiba mau diubah lagi," ujarnya.

Hal itu dibenarkan salah satu guru di SMAN 7 Semarang, Ashfi (32). Ia menilai kebijakan enam hari sekolah tidak adil dan hanya menambah beban guru tanpa manfaat jelas.

"Saya sangat tidak setuju. Kami juga guru, punya anak, punya keluarga. Masa kami harus merawat anak orang lain tapi anak kami sendiri tidak dipikirkan?" kata Asfi kepada detikJateng.

Ia menyebut kebijakan 6 hari sekolah ini merugikan guru yang banyak berdomisili di luar kota. Jika Sabtu jadi masuk sekolah, kabarnya siswa bakal pulang pukul 15.00 WIB.

"Banyak teman-teman itu laju dari Weleri, Kendal, Mijen. Cuma beda 30 menit jam pulang itu nggak berarti apa-apa dibanding capeknya harus masuk 6 hari," jelasnya.

Ashfi turut mempertanyakan keadilan kebijakan tersebut. Berdasarkan rencana yang ia dengar, jika 6 hari sekolah diterapkan, guru fungsional wajib masuk sementara pegawai struktural di dinas libur pada Sabtu.

"Yang kami nggak setuju hari Sabtu struktural libur tapi fungsional itu masuk, kan tidak adil. Jadi yang masuk hanya guru fungsional, tapi yang di bawah dinas libur, di mana letak keadilannya?" ujarnya.

Selama ini, kata Ashfi, sistem 5 hari sekolah sudah sangat efektif. Senin-Kamis siswa pulang pukul 15.30 WIB, Jumat pukul 14.00 WIB.

"Anak-anak juga punya kegiatan les atau tugas. Guru juga butuh me-time, butuh tidur, butuh urus rumah. Kalau cuma libur Minggu, kapan ngurus semuanya?" ujarnya.

"Guru juga cuma bisa mengantar anak sekolah hari Sabtu, kalau Sabtu masuk nggak ada lagi bisa mengantar anak sekolah," sambungnya.

Rencana Pemprov yang menyebut akan melakukan rotasi guru agar dekat domisili juga dinilai tidak realistis. Ashfi bahkan mengungkap sekolahnya sampai kekurangan guru karena relokasi guru yang berubah-ubah mendadak.

"Tidak semudah itu. Saya sudah 5 tahun dan proses rotasi itu rumit sekali. Banyak step-nya. Janji hanyalah janji, tapi praktiknya tidak semudah membalikkan telapak tangan," ucapnya.

"Semester ini saja sudah 3-4 kali relokasi. Pengumuman hari Senin, tanggal 3 sudah pindah. Sekolah jadi pusing bikin jadwal. Saya sampai ngajar biologi padahal saya guru kimia," bebernya.

Menurutnya, masih ada sekolah yang kekurangan guru sementara sekolah lain kelebihan guru. Menurut dia, pemerintah semestinya fokus pada hal yang lebih prioritas ketimbang mengubah jam kerja guru.

"Sudah seragam saja sering ganti-ganti. Sejak 1 November, Jumat yang tadinya pakai batik sekarang pakai atasan putih, laki-laki bawahnya sarung. Sudah seperti santri. Itu saja yang diganti cukup, jangan jam kerjanya juga," katanya.

Hal senada dikatakan salah satu guru ekonomi SMAN 7 Semarang, Ami Nitami (32). Ia mengaku banyak yang harus dipikirkan jika nantinya program enam hari sekolah diterapkan.

"Pola di lingkungan sekolah akan berubah, awalnya 5 hari dan 6 hari. Saya persis tahu anak-anak setiap Sabtu sudah punya agenda. Kalau katanya ada siswa kurang pengawasan orang tua, nggak punya agenda terstruktur, itu nggak tahu data dari mana," kata Ami saat dihubungi detikJateng.

"Sebenarnya by data anak-anak justru memanfaatkan hari Sabtu untuk menggali potensi mereka. Misalnya les di mata pelajaran yang mereka sukai atau yang menurut mereka lebih sulit," lanjutnya.

Tak jarang pula siswa-siswi yang punya potensi di seni dan olahraga, gabung klub komunitas yang beraktivitas di hari Sabtu.

"Bahkan untuk ekstra misalnya, anak anak banyak yang memanfaatkan di hari Sabtu meski itu mungkin di sekolah. Kayak misalnya Paskibra, atau yang organisasi beberapa juga di Hari Sabtu," tuturnya.

"Kalau polanya berubah jadi enam hari, tentu akan kesusahan me-manage waktunya. Orang tua juga selama ini sebenarnya sudah settle di 5 hari kerja," sambungnya.

Ami mengatakan, jika perubahan jadwal menjadi enam hari sekolah hanya mengurangi 30 menit waktu siswa di sekolah, maka itu tak berdampak signifikan.

"Itu cuma selisih setengah jam, sama aja, mereka tetap pulang sore. Nggak ada dampak apapun juga untuk memanfaatkan waktu di sore hari," ucapnya.

Guru juga kebingungan jika mereka harus mengajar hari Sabtu sementara anak mereka di PAUD-SMP libur di hari Sabtu.

"Anak-anak 5 hari sekolah, kami malah berangkat kerja. Apalagi saya yang rantau, nggak ada sanak saudara, siapa yang akan momong anak?," ujarnya.

"Anak-anak juga nyeletuk 'masak adik-adikku Sabtu libur aku malah berangkat sendiri?' Jadi agenda keluarga pun terganggu jika ada anggota keluarga yang ternyata masih harus berangkat sekolah," tambahnya.

Ia berharap Pemprov Jateng berhenti membuat kebijakan yang berubah-ubah dan lebih mempertimbangkan wacana itu dari segala sisi.

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) tengah mengkaji program enam hari sekolah bagi SMA/SMK. Program itu masih digodok hingga kini.

"(Program 6 hari sekolah) Masih kajian, nanti saja kalau sudah fix. Ini baru dikaji oleh tim," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jateng, Sadimin melalui pesan singkat kepada detikJateng, Jumat (21/11/2025).

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti memberikan tanggapan berikut.

"Itu kebijakan dari pemerintah daerah prinsipnya yang kita atur adalah lama belajar dalam satu minggu," kata Abdul Mu'ti kepada wartawan di Kudus, Sabtu (22/11/2025).

Mu'ti menyebut hal terpenting adalah durasi belajar anak dalam satu minggu. Dia tidak mempermasalahkan jika pemerintah daerah membuat kebijakan terkait dengan enam hari sekolah.

"Yang penting lama belajar satu minggu sesuai dengan ketentuan. Apakah mereka mau lima hari atau enam hari, itu kebijakan dari pemerintah daerah," jelasnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Kecelakaan Karambol di Tol Gayamsari Semarang, 8 Orang Terluka"
[Gambas:Video 20detik]
(dil/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads