- Sejarah Tragedi Pecinan 1740 1. Kondisi Awal 2. Pembantaian Besar di Batavia 3. Perlawanan Tionghoa di Batavia 4. Laskar Tionghoa Berkumpul di Bekasi-Karawang 5. Perlawanan Tionghoa Menyebar ke Seluruh Jawa 6. Runtuhnya Kartasura 7. Madura Menyerang Balik 8. Pasukan Gerilya Pecinan Melemah
- Apa Akibat dari Peristiwa Geger Pecinan? 1. Terlahirnya Persekutuan Tionghoa-Jawa 2. Meletusnya Pemberontakan Besar 3. Munculnya Dualisme Kekuasaan Mataram 4. Keruntuhan Kartasura 5. Cikal Bakal Keraton Solo
Geger Pecinan 1740 menjadi salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah Jawa. Peristiwa ini bukan hanya soal konflik VOC dan komunitas Tionghoa, tetapi rangkaian kejadian yang mengubah wajah politik Mataram. Banyak orang belum tahu bagaimana ketegangan itu bisa meledak menjadi perang besar.
Di balik pembantaian Batavia, pelarian besar-besaran, hingga perlawanan di pesisir Jawa, tersimpan kisah perjuangan yang menyatukan Tionghoa dan Jawa. Kerja sama ini kemudian mengguncang kekuasaan VOC dan membuat Keraton Mataram Islam di Kartasura berada di ambang keruntuhan. Dampaknya meluas dan membentuk arah sejarah yang kita kenal hari ini.
Bagi detikers yang ingin melihat kronologi lengkapnya, penjelasannya sudah tersaji runtut dan mudah diikuti. Yuk dalami bagaimana satu tragedi mampu mengubah sejarah Jawa secara besar-besaran!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin utamanya:
- Geger Pecinan berawal dari ketegangan panjang antara VOC dan komunitas Tionghoa yang memuncak pada pembantaian Batavia.
- Persekutuan Tionghoa-Jawa muncul sebagai respons dan berkembang menjadi pemberontakan besar di pesisir Jawa.
- Tragedi ini mendorong runtuhnya Kartasura dan menjadi titik awal berdirinya Kasunanan Surakarta.
Sejarah Tragedi Pecinan 1740
Dikutip dari buku Buku Geger Pacinan 1740-1743 tulisan Daradjadi, berikut merupakan kronologi Geger Pecinan yang bermula pada 1740.
1. Kondisi Awal
Akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18, jumlah imigran Tionghoa di Batavia terus bertambah. VOC menerapkan berbagai aturan ketat seperti kuota migrasi, pajak kepala, hingga izin tinggal berbayar. Situasi ekonomi VOC yang memburuk membuat mereka semakin menekan komunitas Tionghoa. Pada 1730-an, razia terhadap imigran gelap semakin sering, sehingga menimbulkan keresahan.
Memasuki 1740, ketegangan memuncak. Wabah penyakit melanda Batavia dan VOC menjalankan razia besar-besaran terhadap orang Tionghoa. Gerombolan Tionghoa yang resah mulai mempersenjatai diri. Pada 4 Februari 1740 terjadi percobaan pembebasan tahanan, disusul perintah Dewan Hindia untuk kembali menangkap orang Tionghoa, termasuk mereka yang memiliki izin tinggal.
2. Pembantaian Besar di Batavia
Ketegangan antara VOC dan komunitas Tionghoa pecah menjadi kekerasan brutal. Setelah razia, penangkapan, dan desas-desus bahwa orang Tionghoa yang ditahan akan dibuang ke laut, kepanikan merebak. Rumah-rumah mereka digeledah, harta dijarah, dan pada 9 Oktober siang terjadi kebakaran besar di permukiman Tionghoa.
Pada 10 Oktober, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan pembantaian tanpa pandang bulu. Ribuan orang Tionghoa diseret dari rumah dan dibunuh di sekitar Stadhuis. Mayat dibuang ke Kali Besar. Dalam dua hari itu, diperkirakan 7.000-10.000 orang Tionghoa tewas.
3. Perlawanan Tionghoa di Batavia
Kabar pembantaian memicu perlawanan. Pada 11 Oktober, sekitar 3.000 pasukan Tionghoa menyerbu benteng VOC di Tangerang, sementara 5.000-6.000 lainnya menggempur Meester Cornelis. Namun mereka kalah persenjataan dan tak mampu menembus pertahanan VOC.
Kapitan Sepanjang lalu mengalihkan pasukannya dari Gandaria ke Gading Melati, membuat barikade untuk menghindari serbuan Kompeni. Ia mencoba masuk Banten, tetapi ditolak Sultan sehingga terpaksa bergerak ke arah Bekasi.
4. Laskar Tionghoa Berkumpul di Bekasi-Karawang
Kelompok-kelompok kecil Tionghoa yang selamat dari pembantaian melarikan diri ke Kampung Melayu, Pulogadung, Tanjung Priok, hingga Sukapura. Mereka kemudian bergabung dengan pasukan pemberontak di Bekasi. VOC mengirim pasukan di bawah Abraham Roos untuk mengejar, tetapi laskar Tionghoa terus bergerak ke timur melewati Cirebon-Losari-Tegal menuju wilayah Mataram.
Rombongan pengungsi yang lolos dari pembantaian Batavia akhirnya mencapai Lasem pada akhir 1740 hingga awal 1741. Di sana mereka ditolong oleh bangsawan lokal, termasuk Raden Panji Margana dan Bupati Lasem, Tumenggung Widyaningrat (Oey Ing Kiat). Lasem pun menjadi salah satu basis awal konsolidasi perlawanan.
5. Perlawanan Tionghoa Menyebar ke Seluruh Jawa
Pada 1 Februari 1741, 37 orang Tionghoa lokal yang bersenjata menyerang rumah seorang serdadu VOC di Majawa-Pati. Rumah dibakar dan penghuninya dibunuh. Aksi ini direspons keras oleh Bupati Kudus yang menangkap dan memancung pemimpin gerombolan tersebut. Ketegangan semakin meningkat di seluruh daerah pesisir.
Pada April-Mei 1741, di Tanjung Welahan dekat Demak, pasukan Tionghoa dalam jumlah besar muncul dipimpin Singseh alias Tan Sin Ko. Permintaan VOC agar Bupati Demak menumpas mereka dijalankan setengah hati. Dalam waktu cepat, Singseh dan pasukannya semakin kuat dan menjadi poros pemberontakan.
Pasukan Sepanjang bergerak ke arah Cirebon pada bulan Mei hingga Juli 1741. Di sana, mereka diterima diam-diam oleh penguasa setempat. Mereka melintasi Sungai Losari menuju Mataram. Pada 30 Juni, pasukan Sepanjang bersama panglima Tionghoa di Tegal menyerang pos VOC di Tegal. Dari sana, ratusan pasukan Tionghoa bergerak ke Kedu untuk memperluas perlawanan.
Serangan-serangan Tionghoa ke Semarang makin intens. Pada 12 Juni, pasukan Kompeni dan bumiputra bertahan di Tugu melawan serangan dari barat Semarang. Meski korban jatuh, VOC terpaksa mundur dan bertahan di Bukit Bergota, pusat pertahanan mereka.
Pada 20 Juli, benteng VOC di Kartasura diserang pasukan Mataram. Di Semarang, posisi VOC semakin sempit. Rembang, Jepara, perjalanan pesisir lainnya jatuh ke tangan laskar Tionghoa. Bupati Cakraningrat dari Madura diperintahkan VOC untuk membantai orang Tionghoa di Surabaya sebagai tindakan balasan.
6. Runtuhnya Kartasura
Pada 1 Agustus, ribuan pasukan Tionghoa tiba di Kartasura dan bergabung dengan Mataram mengepung benteng Kompeni. Kapitan Sepanjang dipercaya mengoperasikan meriam-meriam Keraton Kartasura. Guncangan terhadap Kompeni semakin berat, meskipun kemudian Sunan Pakubuwono II berbalik memihak VOC menjelang 1742.
VOC mengerahkan serangan balik besar pada 21 Agustus. Pasukan Kapten Steinmetz merebut meriam, menewaskan puluhan prajurit Tionghoa, dan memukul mundur mereka dari beberapa titik. Pasukan Tionghoa bertahan di Bukit Bergota, Terboyo, dan Paseban. Front Semarang pun menjadi pusat perang yang menentukan.
Pada Januari-Februari 1742, pasukan gabungan Tionghoa-Mataram merebut Kudus dan Pati. Kekuatan mereka semakin besar, hingga Demak, Jepara, dan wilayah timur Semarang berada dalam tekanan berat. Kartasura khawatir karena pemberontakan merebak hingga Kedu.
Pasukan Sunan Amangkurat V (Sunan Kuning) bersama laskar Singseh, Martapuro, dan Mangunoneng menghimpun ribuan pasukan. Mereka bentrok dengan tentara Pringgalaya, lalu terus bergerak menuju Kartasura lewat Salatiga dan Boyolali. Kartasura semakin terjepit.
Sunan Amangkurat V (Sunan Kuning) memasuki Kartasura pada 30 Juni 1742. Kapitan Sepanjang memimpin pasukan penyerang, sementara Raden Mas Said (kelak Pangeran Sambernyawa) merebut pusaka keraton. Sunan Pakubuwono II melarikan diri ke timur bersama VOC di tengah penyerangan itu.
7. Madura Menyerang Balik
Bersatunya VOC dan Madura membuat keadaan berubah. Demak direbut kembali, pasukan Tionghoa terpukul mundur dari Ungaran, Tuntang, dan Juwana. Para panglima Tionghoa mulai gugur satu per satu. Lasem dan seluruh pesisir utara kembali jatuh ke tangan VOC. Serangan balik dari Madura ini berlangsung pada Agustus-November 1742.
8. Pasukan Gerilya Pecinan Melemah
Memasuki akhir 1742 hingga awal 1743, pasukan Sunan Kuning, Sepanjang, dan Raden Mas Said bertahan di pedalaman Jawa. Mereka berpindah dari Randulawang, Nguter, hingga Keduwang. Serangan-serangan kecil masih berlangsung, tetapi pos-pos VOC semakin kuat. Banyak laskar Tionghoa gugur dalam pengepungan demi pengepungan.
Pada Maret-Juni, VOC menyerang Randulawang dan menghancurkan banyak markas pejuang. Mangunoneng tertangkap, pasukan Tionghoa makin tersudut. Raden Mas Said dan Sepanjang terpaksa berpencar guna bertahan hidup dan melanjutkan perlawanan.
Pada 2 Desember 1743, Sunan Kuning menyerahkan diri ke VOC di Surabaya dan dibuang ke Sri Lanka. Para prajurit Tionghoa yang mengawalnya dihukum mati. Sepanjang bertahan dengan kelompok kecilnya, bergerak sampai Blambangan, lalu hilang dari catatan VOC. Pada 1750-an ia disebut pindah ke Bali dan mengabdi di sebuah kerajaan. Ia tidak pernah menyerah hingga akhir hayat.
Apa Akibat dari Peristiwa Geger Pecinan?
Menurut penelitian Hiqmalia Cahyaningrum dalam artikel berjudul Persekutuan Etnis Tionghoa dalam Peristiwa Geger Pecinan dalam Babad Sengkala, peristiwa yang berlangsung selama kurang lebih 3 tahun ini berdampak besar bagi masyarakat di Jawa pada umumnya. Berikut adalah penjelasan lengkapnya.
1. Terlahirnya Persekutuan Tionghoa-Jawa
Peristiwa pembantaian besar-besaran yang dilakukan VOC terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia membuat komunitas Tionghoa yang selamat melarikan diri dan mencari perlindungan. Dalam proses itu, mereka bertemu para bangsawan dan rakyat Jawa yang juga tidak puas terhadap kekuasaan VOC.
Situasi yang sama-sama tertekan membuat kedua kelompok ini akhirnya membentuk persekutuan militer. Dari sinilah terjalin kerja sama orang Tionghoa dan Jawa yang kemudian menjadi inti kekuatan pemberontakan di berbagai wilayah pesisir utara Jawa.
2. Meletusnya Pemberontakan Besar
Setelah pembantaian di Batavia, gelombang perlawanan meluas dari Bekasi, Karawang, Lasem, Kudus, Demak, Jepara, hingga pesisir Jawa Timur. Pasukan gabungan Jawa-Tionghoa menyerang pos-pos VOC, mengepung kota-kota penting, dan bahkan berhasil merebut beberapa wilayah.
Pemberontakan itu tidak hanya berlangsung singkat, tetapi berkembang menjadi perang panjang yang menyatukan banyak kelompok. Bahkan para bangsawan dan bupati yang kecewa pada VOC maupun pada sikap politik Pakubuwana II pun turut melawan.
3. Munculnya Dualisme Kekuasaan Mataram
Dalam Babad Sengkala digambarkan bahwa Pakubuwana II tidak berpihak pada rakyatnya sendiri. Ia memilih mendukung VOC ketika Jawa sedang berkecamuk. Sikap ini membuat banyak bangsawan dan pasukan Jawa kecewa.
Akibatnya, sebagian besar kekuatan Jawa berpindah ke pihak pemberontak dan mendukung pemimpin lain, salah satunya Raden Mas Garendi (Sunan Kuning). Krisis kepercayaan ini membuat Keraton Kartasura goyah dan berakhir pada keruntuhan pusat kekuasaan tersebut.
4. Keruntuhan Kartasura
Persekutuan Jawa-Tionghoa yang semakin kuat, ditambah kondisi keraton yang goyah, mendorong terjadinya penyerbuan besar ke Kartasura. Pasukan Sunan Kuning yang mendapat dukungan laskar Tionghoa akhirnya berhasil merebut Kartasura. Serangan ini membuat Pakubuwana II melarikan diri dan kehilangan kedudukannya. Kejadian tersebut menjadi salah satu titik balik terbesar dalam sejarah Mataram Islam.
5. Cikal Bakal Keraton Solo
Keruntuhan Kartasura akibat geger itu menciptakan kekosongan dan instabilitas politik. Peristiwa besar tersebut akhirnya dianggap sebagai pemicu utama berdirinya pusat kerajaan baru.
Dari sinilah kemudian muncul Kasunanan Surakarta (Solo). Kasunanan menjadi kelanjutan garis kekuasaan Mataram setelah Kartasura tidak lagi layak dihuni karena dianggap 'rusak' secara politik maupun spiritual akibat perang dan pertumpahan darah.
Sejarah ini memberi gambaran betapa kuatnya pengaruh sebuah peristiwa pada perjalanan satu wilayah. Semoga rangkuman ini bisa membantu pembaca memahami konteks besar di balik Geger Pecinan dengan lebih jernih dan menyeluruh.
(sto/apu)











































