Pakar Undip Sarankan Zero Delta Q Atasi Banjir Menahun di Semarang, Apa Itu?

Pakar Undip Sarankan Zero Delta Q Atasi Banjir Menahun di Semarang, Apa Itu?

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Senin, 27 Okt 2025 17:10 WIB
Sejumlah kendaraan berjalan perlahan saat berusaha menembus banjir yang masih menggenangi  jalur utama pantura Semarang-Surabaya di Jalan Kaligawe Raya, Semarang, Jawa Tengah, Senin (27/10/2025). Menurut petugas gabungan setempat, memasuki hari keenam banjir di wilayah tersebut mengalami penurunan dari 70 centimeter pada Jumat (24/10) kini menjadi sekitar 20-50 centimeter pada Senin (27/10) dan petugas kepolisian setempat mengimbau pengendara motor dan mobil pribadi berukuran kecil mencari jalur alternatif lain karna debit air di sejumlah titik banjir masih belum stabil. ANTARA FOTO/Makna Zaezar
Sejumlah kendaraan berjalan perlahan saat berusaha menembus banjir yang masih menggenangi jalur utama pantura Semarang-Surabaya di Jalan Kaligawe Raya, Semarang, Jawa Tengah, Senin (27/10/2025). (Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar)
Semarang -

Pakar Tata Kota Undip, Prof Dr Ing Wiwandari Handayani menyoroti banjir menahun yang terjadi di Kota Semarang dan sekitarnya. Ia menyarankan pemerintah untuk menjalankan program 'Zero Delta Q' guna mencegah banjir dan memastikan seluruh air tak sia-sia.

Wiwandari mengatakan, akar masalah banjir menahun di Kota Semarang terjadi karena selama ini pemerintah hanya fokus pada banjir di hilir dan tidak menangani sumber banjir secara menyeluruh, dari hulu sampai hilir.

"Selama ini bikin tanggul laut, normalisasi sungai, 'menyalahkan' pompa dan saluran drainase. Tapi bisa jadi itu akar masalahnya itu sebenarnya perubahan guna lahan yang tidak terkendali," kata Wiwandari saat dihubungi detikJateng, Senin (26/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang menurut saya justru perlu ditangani secara lebih serius dan berkelanjutan, karena banyak daerah, hulu terutama, itu sudah berubah. Konversi lahan dari lahan yang tadinya resapan air menjadi lahan terbangun, itu kan memperparah sedimentasi," lanjutnya.

Menurutnya, hal itu yang akhirnya membebani drainase. Padahal, jika drainase dibenahi tapi daerah resapan air tetap digunakan untuk pembangunan, maka banjir akan terus terjadi.

ADVERTISEMENT

"Karena kita juga mengalami bencana iklim ekstrem. Makin ke itu curah hujannya makin tinggi, walaupun mungkin durasinya tidak lama. Kalau ditotal mungkin curah hujan dalam setahun sama, tapi kapasitas curah hujannya per kejadian hujan semakin tinggi," urainya.

Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) itu menyoroti, banjir di Kaligawe disebabkan oleh tiga faktor. Mulai dari banjir karena rob, luapan sungai dari hulu, hingga kegagalan drainase

"Makanya kenapa Kaligawe itu jadi terus kebanjiran, untuk mengatasinya tadi harus dilakukan secara menyeluruh. Kalau cuma parsial seperti pompanisasi saja, normalisasi, tapi tidak dari hulu, akan terus terjadi (banjir) setiap tahun," tuturnya.

"Jadi, memang harus sistemik, penanganan itu nggak bisa parsial-parsial seperti yang selama ini terjadi, harus tersusun secara terstruktur dan rapi, dari hulu sampai dengan hilir," lanjutnya.

Dosen di Departemen Perencanaan Wilayah dan Perkotaan (PWK) Undip itu menjelaskan, pembangunan perumahan hingga industri memang tak bisa dihindari terjadi di Kota Semarang. Namun, yang menjadi masalah, kata dia, pembangunan harus sejalan dengan kesiapan drainase-nya.

"Jadi misalnya kalau mau bangun di daerah Tembalang, Ngaliyan, drainase-nya harus dibesarin sampai ke bawahnya. Ini yang belum kita lakukan secara komprehensif. Ini yang menjadi salah satu kontributor terbesar," tuturnya.

"Harusnya ketika memberikan izin untuk pembangunan, perlu diperhatikan pembangunan itu berapa persen yang bisa dibangun, berapa persen yang harus dibiarkan terbuka, berapa kapasitas drainase yang harus disiapkan," lanjutnya.

Ia pun menyarankan beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk menangani permasalahan banjir tersebut. Mulai dari memastikan Rencana Tata Ruang Wilayah sudah benar dan diterapkan dengan baik, hingga adanya regulasi Zero Delta Q.

"Pemerintah Kota Semarang perlu menguatkan regulasi untuk pengelolaan air. Ada Zero Delta Q, ketika kita mengeluarkan atau menghasilkan air, kita juga water cycle-nya jadi nol kembali. Kita tidak ada air yang tersia-siakan," tuturnya.

"Contohnya pastikan pengembang baru itu sudah mencukupi kebutuhan penyerapan air di daerah situ. Kemudian air kotornya sudah bisa dibuang dengan baik, di-treatment dengan baik sehingga Zero Delta Q, tidak ada air yang tersia-sia," sambungnya.

Lulusan University of Stuttgart itu juga menyebut, RTRW yang dibuat berdasarkan wilayah administrasi turut menjadi masalah. Wiwandari menilai, seharusnya RTRW diterapkan berbasis kawasan ekologis, bukan administrasi.

"Karena misalnya Semarang mungkin sumber banjirnya bukan di Kota Semarang, tapi di hulunya di Kabupaten Semarang. Ini masalah yang saya pikir belum terselesaikan dengan baik, karena rencana tata ruang kita masih teritorial, berbatasan administrasi, belum fungsional," jelasnya.

"Sementara di banyak negara lain itu walaupun punya rencana tata ruang berbasis administrasi, tapi punya rencana tata ruang yang cukup komprehensif, berbasis wilayah ekoregion" sambungnya.

Pada akhirnya, menurutnya, masalah banjir harus diselesaikan secara sistematik dengan koordinasi dari berbagai pihak, mulai dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan pihak-pihak lainnya.

"Jadi, at the end of the day masalahnya masalah tata kelola wilayah juga sih. Masalah institusi pengembangan dan kesiapan institusi untuk berkoordinasi dan berkomunikasi," tutupnya.




(aku/afn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads