Di tengah mahalnya biaya hidup di kota besar, masih ada tempat sederhana yang jadi rumah bagi para perantau di Semarang. Pondok Boro, penginapan tua di Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang Tengah itu hanya mematok harga Rp 4.000 per malam untuk pengunjungnya.
Pantauan detikJateng di Pondok Boro, Kamis (16/10/2025) siang, bangunan tua itu tampak lusuh, berdinding bata merah yang sebagian sudah terkelupas. Di bagian depan, sebuah sepeda ontel bersandar di dinding, sementara kios kecil dari kayu berdiri menutupi pintu masuk.
Begitu melangkah ke dalam, tampak tumpukan papan-papan kayu, kaca bekas, dan terpal biru. Lorong kayu panjang menghubungkan kamar-kamar sempit dengan dinding cat hijau tua yang mulai pudar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poster-poster lama menempel di dinding, sebagian sobek, menambah kesan tua pada bangunan berusia hampir seabad itu. Cahaya redup menembus dari sela-sela atap seng menyinari lorong, sementara di kamar tidak tampak ada pencahayaan.
Di sisi lain, deretan tempat tidur berjajar rapat di kanan dan kiri, hanya dipisahkan oleh lorong sempit berlantai batu. Kain putih kusam dibentangkan menutupi atap yang sebagian bocor.
Barang-barang pribadi tersusun di kardus dan rak-rak sederhana menggambarkan keseharian para penghuni pondok. Kipas kecil juga menyala, melawan panasnya hawa Kota Semarang.
Suasana penginapan di Pondok Boro, Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Kamis (16/10/2015). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng |
Para pengunjung tengah keluar, sehingga suasana terasa lengang. Hanya ada Shomad (52), salah satu penghuni lama, sudah tinggal di Pondok Boro sejak awal 1990-an. Pria perantau asal Cirebon itu sedang duduk memegang ponselnya.
"Saya tinggal di sini semenjak tahun '90-an. Kesehariannya jualan. Dulu jualan pakaian terus 2012 beralih jualan sampah MMT bekas sampai sekarang. Jualannya di pasar," kata Shomad di Pondok Boro.
Biasanya, kata Shomad, ia harus berjualan keliling berbagai daerah di Jawa Tengah, mulai dari Jepara, Kudus, Boyolali, hingga Solo.
"Singgah-singgah, saya asli Cirebon, istri saya orang sini, cuma saya nggak mau diam di tempat mertua, diamnya di sini. Dulu itu harganya Rp 2 ribu per hari, sekarang Rp 4 ribu per hari, mulai 2020-an," ungkapnya.
Pondok sederhana ini, kata Shomad, menjadi tempat singgah khusus laki-laki. Para penghuni berasal dari berbagai daerah, mulai dari Kebumen, Sragen, hingga luar Jawa Tengah yang bekerja sebagai pedagang, kuli, atau sopir.
Meski sekadar tempat tidur, Shomad menyebut suasana di pondok ini hangat seperti keluarga. Ia mengaku sudah kenal dengan banyak penghuni yang langganan menginap di sana.
"Ya di sini kayak saudara semua, kayak kakak adik. Kalau ada yang kesusahan ya saling bantu," ujarnya.
Bapak beranak dua itu pun sangat terbantu dengan adanya penginapan dengan tarif hanya Rp 4 ribu itu.
"Rp 4 ribu khusus buat tidur. Buat mandi ada, pokoknya ada semua, selain masak. Termasuk kebersihan juga," jelasnya.
"Dari dulu, Bapak saya juga di sini, menginap di Pondok Boro sebelah. Dulunya juga saya di situ, terus pindah ke sini," lanjutnya.
Suasana penginapan di Pondok Boro, Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Kamis (16/10/2015). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng |
Menurut pengelola pondok, Taryono (35), Pondok Boro saat ini menampung sekitar 90 penghuni tetap. Tarif Rp 4 ribu per hari sudah termasuk listrik, kamar mandi, dan air bersih.
"Kita sifatnya sosial. Dulu malah gratis waktu zaman dulu. Tapi karena sekarang sudah ada listrik, PBB, dan perawatan, akhirnya ya ditarik Rp 4 ribu," kata Taryono.
Bangunan Pondok Boro pun masih mempertahankan bentuk aslinya sejak hampir satu abad lalu. Hanya ada perbaikan kecil di bagian atap atau kayu yang rapuh.
Di dalamnya terdapat beberapa gang dan loteng yang menjadi kamar para penghuni, seperti Gang Tengah, Gang Lor, hingga Gang Sragen yang memang banyak dihuni perantau dari Sragen.
"WC komplit cuma ala kadarnya, pakainya sumur, timbanya hampir 16 kan buat mandi bareng-bareng. Kalau mau ke WC ya berjejer-jejer sudah terbiasa yang penting bisa untuk tidur nyaman," ujarnya.
Para pengunjung pun tak dibatasi hingga kapan tinggal di penginapan murah itu. Mereka akan diberikan kartu yang menandakan berapa lama mereka tinggal.
"Kalau sudah terdaftar di sini sudah dikasih kartu kehadiran. Datangnya sesuai kepentingan, misalkan di sini 2 hari, ada kepentingan di rumah pulang, nggak apa-apa, nggak ada batasan. Paling lama 3 bulan ada," kata dia.
Nama 'Pondok Boro' sendiri punya makna tersendiri. Pondok berarti tempat, sementara boro artinya perantau atau pendatang.
"Jadi tempatnya orang perantau beristirahat seperti itu. Yang paling penting nggak kehujanan, nggak kepanasan, buat tidur nyaman, murah," kata Taryono.
Sejak zaman Belanda, Pondok Boro menjadi tempat singgah bagi orang-orang kampung yang datang ke Semarang untuk berdagang atau bekerja serabutan. Banyak di antaranya adalah orang Kebumen, termasuk Taryono sendiri.
"Awalnya orang Kebumen semua, urbanisasi, dulu kan dari kampung ke kota, ke Semarang. Zamannya dulu tahun 1926, pemerintahan Belanda itu tidurnya di emperan toko. Yang punya rumah tahu, orang Kebumen suruh tidur di sini, gudang sini. Sudah ada izinnya resmi dari tahun 1926," jelasnya.
"Dulu gratis, karena lama-lama kan ada listrik masuk, membayarnya kan ya enggak terlalu mahal, biayanya terus disesuaiin," sambungnya.
Meski disebut penginapan, Pondok Boro bukan tempat umum. Penghuni yang ingin tinggal harus punya KTP dan penjamin.
"Maksudnya (penjamin) itu yang bertanggung jawab seluk-beluknya dia gimana. Misalkan nanti buat ke depannya administrasinya gimana. Kalau telat bayar kita menghubungi yang nanggung," tutur Taryono.
(aap/ahr)













































