Kronologi Pertempuran 5 Hari di Semarang dari Awal sampai Akhir

Kronologi Pertempuran 5 Hari di Semarang dari Awal sampai Akhir

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Rabu, 15 Okt 2025 12:37 WIB
Matahari berada tegak lurus di atas Kota Semarang siang ini. Fenomena kulminasi utama atau hari tanpa bayangan terjadi, seperti apa?
Ilustrasi pertempurang 5 hari di Semarang. Foto: Angling Adhitya Purbaya
Solo -

Di balik megahnya Tugu Muda Semarang, tersimpan kisah heroik yang mengguncang kota ini pada Oktober 1945. Pertempuran 5 Hari di Semarang bukan sekadar peristiwa bersenjata, melainkan simbol keberanian rakyat dan pemuda yang rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan.

Pertempuran ini meletus di tengah situasi yang belum stabil setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Ketegangan meningkat cepat, dari isu racun air hingga tewasnya Dr Kariadi, yang akhirnya memicu bentrokan besar antara pemuda Semarang dan pasukan Jepang Kido Butai. Selama lima hari, kota ini berubah menjadi medan perlawanan sengit yang menorehkan luka sekaligus kebanggaan bagi bangsa Indonesia.

Bagaimana pertempuran ini bisa terjadi dan berakhir? Mari menelusuri kronologi lengkapnya, dari awal munculnya konflik hingga berdirinya Tugu Muda sebagai monumen perjuangan rakyat Semarang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

  • Pertempuran Lima Hari di Semarang (15-19 Oktober 1945) adalah salah satu peristiwa besar pasca-Proklamasi yang menunjukkan kegigihan pemuda melawan pasukan Jepang Kido Butai.
  • Tragedi kematian Dr. Kariadi menjadi pemicu utama pertempuran, yang kemudian berujung pada kekerasan besar di Simpang Lima dan Penjara Bulu.
  • Untuk mengenang perjuangan itu, dibangun Tugu Muda, monumen berbentuk lilin yang melambangkan semangat perjuangan rakyat Semarang yang tak pernah padam.

ADVERTISEMENT

Kronologi Pertempuran 5 Hari di Semarang

Berikut ini adalah kronologi peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang yang dikutip dari artikel ilmiah berjudul Pertempuran Lima Hari (15-19 Oktober 1945): Menyibak Tabir Sejarah Semarang yang Mendalam tulisan Lailatus Sa'diah. Mari kita simak selengkapnya!

1. Awal Ketegangan Pasca-Kemerdekaan

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, keadaan di berbagai daerah masih belum stabil. Pasukan Jepang yang belum dipulangkan tetap bersenjata dan menolak menyerahkan kekuasaan kepada pihak Indonesia.

Pada awal Oktober 1945, pemuda Surabaya berhasil melucuti senjata Jepang, dan semangat itu menyebar ke daerah lain, termasuk Semarang. Pada 4 Oktober 1945, Angkatan Muda bersama Polisi Indonesia di Semarang menemukan dan menyita mesiu milik Jepang di Gua Kambangan. Beberapa hari kemudian, mereka juga berhasil mendapatkan senjata dari markas Polisi Jepang di Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda).

2. Perundingan dengan Pasukan Kido Butai

Usaha pemuda untuk mendapatkan senjata mencapai puncaknya pada 7 Oktober 1945, ketika mereka mengepung tangsi pasukan Jepang Kido Butai di Jatingaleh. Pasukan Kido Butai merupakan pasukan Jepang yang dipersiapkan menghadapi Sekutu, dengan perlengkapan lengkap dan pengalaman tempur tinggi.

Dalam perundingan antara Residen Wongsonegoro, tokoh Angkatan Muda S. Broto, dan komandan Jepang Mayor Kido, disepakati bahwa penyerahan senjata akan dilakukan bertahap. Namun, sebelum seluruh senjata diserahkan, situasi berubah drastis akibat serangkaian insiden yang memperkeruh hubungan antara Jepang dan pemuda Indonesia.

3. Meningkatnya Ketegangan Menjelang Pertempuran

Pada 13 Oktober 1945, diadakan Konferensi Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di Jomblang, Semarang. Pertemuan ini diwarnai kegelisahan akan kedatangan Sekutu dan senjata Jepang yang belum diserahkan. Selain membahas koordinasi organisasi, para pemuda juga memutuskan untuk menangkap individu yang dicurigai akan mengganggu stabilitas Republik, terutama orang Jepang dan Belanda.

Keesokan harinya, 14 Oktober 1945, aksi penangkapan dilakukan di Semarang dan Ambarawa. Ratusan orang Jepang dan Belanda ditahan, termasuk lebih dari seribu orang di penjara Bulu. Di sisi lain, muncul desas-desus bahwa pasukan Jepang meracuni sumber air di Candibaru.

Pada malam yang sama, sekitar pukul 20.30 waktu setempat, sekelompok orang Jepang dari Pabrik Gula Cepiring yang dipindah ke Semarang memberontak dan menyerang polisi Indonesia. Insiden ini menewaskan beberapa orang dan menjadi pemicu awal pertempuran besar.

4. Kematian Dr Kariadi dan Meletusnya Pertempuran

Ketegangan mencapai puncaknya setelah tewasnya Dr Kariadi, Kepala Laboratorium Rumah Sakit Rakyat Purusara. Ia ditembak saat hendak memeriksa reservoir air Siranda untuk membuktikan isu racun air minum. Kematian Dr Kariadi menimbulkan kemarahan besar di kalangan pemuda dan rakyat Semarang.

Pada dini hari 15 Oktober 1945, pasukan Jepang Kido Butai bergerak menyerang kota Semarang. Berdasarkan dokumen Jepang, perintah serangan dikeluarkan oleh Mayor Kido sekitar pukul 02.00, dan penyerangan dimulai pukul 03.30. Serangan ini menandai dimulainya Pertempuran Lima Hari di Semarang.

5. Pertempuran di Tengah Kota Semarang

Pasukan Kido Butai yang berjumlah sekitar 2.000 orang, lengkap dengan senjata modern, menyerang berbagai titik penting. Beberapa di antaranya markas Badan Keamanan Rakyat (BKR), Gedung NIS (Jawatan Kereta Api Jawa Tengah), serta Hotel Du Pavillon.

Pemuda Semarang yang terdiri dari anggota Polisi Istimewa, BKR, AMRI, dan pelajar, melakukan perlawanan tanpa persiapan militer yang matang. Mereka hanya bersenjata seadanya, banyak menggunakan bambu runcing dan senjata tajam. Meski begitu, semangat juang mereka tinggi.

Pertempuran sengit terjadi di Simpang Lima, di mana pasukan Polisi Istimewa bertahan dengan gigih. Banyak dari mereka gugur, dan jenazah ditemukan di selokan depan Gedung Gubernuran. Di Hotel Du Pavillon, pemuda sempat merebut gedung itu, tetapi terpaksa mundur setelah diserang habis-habisan oleh Kido Butai.

Pertempuran juga meluas ke Semarang Timur dan kawasan Candibaru, di mana pemuda seperti Mardjuki dan Joko Supardi memberikan perlawanan hebat. Meski beberapa tokoh pejuang ditangkap, perlawanan rakyat terus berlanjut melalui strategi gerilya.

6. Tragedi Penjara Bulu dan Pembalasan Jepang

Salah satu peristiwa paling kelam terjadi di Penjara Bulu, tempat lebih dari 1.000 orang Jepang dan Belanda ditahan oleh pemuda Indonesia. Saat pertempuran pecah, sekitar 240 orang Jepang tewas akibat pembunuhan yang terjadi secara tergesa-gesa sebelum pasukan Jepang merebut penjara itu.

Sebagai balasan, pasukan Jepang melakukan pembantaian brutal di berbagai tempat. Di Simpang Lima, pemuda yang tertangkap dibakar hidup-hidup atau dipenggal. Di kampung Batik dan Jaksa, Jepang membakar lebih dari 250 rumah warga. Kekejaman juga terjadi di Rumah Sakit Purusara, tempat para korban luka diperiksa, disiksa, bahkan dimakamkan secara massal.

7. Gencatan Senjata dan Akhir Pertempuran

Pada 17 Oktober 1945, upaya gencatan senjata dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia bersama perwakilan Jepang di Jakarta. Misi perdamaian yang dipimpin oleh Mr Kasman Singodimedjo, Mr Sartono, dan Letkol Nomura akhirnya berhasil menjembatani komunikasi antara Residen Wongsonegoro dan Mayor Kido.

Kesepakatan gencatan senjata dicapai di Jatingaleh, namun penyebaran berita itu lambat sampai ke para pejuang di lapangan. Pertempuran masih berlangsung hingga keesokan harinya. Baru pada 19 Oktober 1945, setelah pasukan 3/10th Gurkha Rifles dari Inggris tiba di bawah komando Letkol Edwardes, pertempuran benar-benar mereda.

Keesokan harinya, 20 Oktober 1945, perang dinyatakan berakhir sepenuhnya. Warga Semarang diliputi kelegaan bercampur duka. Jalan-jalan dipenuhi jenazah para pejuang muda yang kemudian dimakamkan secara massal. Dari tragedi ini, lahirlah semangat untuk menghormati pengorbanan mereka melalui pembangunan Monumen Tugu Muda, yang berdiri di pusat kota Semarang hingga kini sebagai simbol perjuangan dan pengingat akan harga mahal kemerdekaan Indonesia.

Pembangunan Tugu Muda di Tengah Kota Semarang

Untuk mengenang peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangunlah monumen yang kini dikenal dengan sebutan Tugu Muda. Letaknya ada di tengah Kota Semarang dan menjadi ikon bagi ibu kota Jawa Tengah tersebut. Namun, proses pembangunannya ternyata tidak singkat, detikers. Bagaimana prosesnya?

Dikutip dari buku Monumen Perjuangan yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, pembangunan Tugu Muda bermula pada 28 Oktober 1945, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Saat itu, batu pertama diletakkan oleh Mr Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah, di tengah Alun-Alun Semarang dekat Pasar Johar.

Tugu ini diberi nama Tugu Muda dan berbentuk sebuah monumen dengan patung seorang pemuda bertopi baja membawa senjata, menghadap ke arah Hotel Du Pavillon, tempat tentara Sekutu pernah bertahan. Namun, ketika Belanda melancarkan agresi militer pertamanya, tugu tersebut dibongkar oleh pihak Belanda.

Beberapa tahun kemudian, pada 1950, muncul gagasan dari para anggota eks Panitia Tugu Muda dan eks Angkatan Muda Semarang, seperti Martadi, Soeroso, AC Jaya, Soewarno Cipto, Salim, dan Letkol Soediarto, untuk kembali mendirikan monumen yang menjadi penghormatan atas jasa para pejuang Pertempuran Lima Hari di Semarang. Gagasan ini kemudian diwujudkan dengan pembentukan panitia baru yang diketuai Wali Kota Semarang Hadisoebeno Sosrowerdoyo.

Pada Mei 1952, pembangunan dimulai di pusat lokasi pertempuran, tepat di depan Markas Staf Divisi Diponegoro. Peletakan batu pertama kembali dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah dan disaksikan oleh Menteri Pendidikan serta Mr Wongsonegoro. Sebagian besar dana pembangunan diperoleh dari sumbangan masyarakat Semarang.

Tepat pada 20 Mei 1953 yang juga merupakan Hari Kebangkitan Nasional, Presiden Soekarno meresmikan Tugu Muda pada pukul 09.25. Bentuk tugu menyerupai lilin yang melambangkan semangat perjuangan yang tak pernah padam. Lima tiang penyangganya melambangkan Pancasila serta pengorbanan para pejuang dalam Pertempuran Lima Hari.

Desain tugu dibuat oleh Salim, sedangkan relief-relief di sekelilingnya dipahat oleh seniman seperti Edi Soenarso, Joeski, Bakrit, Nasir Bondaru, dan Jonw Trisno. Relief tersebut menggambarkan lima tema utama, yaitu kesengsaraan masa penjajahan, pertempuran, penyerangan, korban, dan kemenangan. Batu-batu pembangunannya diambil dari daerah Kaliurang dan Pakem.

Sejak saat itu, Tugu Muda menjadi lambang resmi Kota Semarang, sekaligus simbol kebanggaan warga atas keberanian para pemuda dalam mempertahankan kemerdekaan. Setiap 15 Oktober, di sekitar tugu ini selalu digelar upacara untuk memperingati Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Kisah Pertempuran Lima Hari di Semarang bukan sekadar catatan sejarah, tapi pengingat tentang keberanian dan pengorbanan generasi muda dalam mempertahankan kemerdekaan. Semoga bermanfaat!




(par/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads