Desas-desus Reservoir Siranda Semarang Diracun Berujung Gugurnya dr Kariadi

Desas-desus Reservoir Siranda Semarang Diracun Berujung Gugurnya dr Kariadi

Ardian Dwi Kurnia - detikJateng
Selasa, 14 Okt 2025 13:54 WIB
Reservoir Siranda di Semarang.
Reservoir Siranda di Semarang. Foto: Ardian Dwi Kurnia/detikJateng
Semarang -

Tepat 80 tahun yang lalu, tepatnya pada 14 Oktober 1945, seorang dokter di Semarang, dr Kariadi gugur ditembak pasukan Jepang. Peristiwa berdarah ini disebut-sebut sebagai salah satu pemicu berkobarnya Pertempuran Lima Hari Semarang yang heroik.

Saat itu, dr Kariadi sedang dalam perjalanan menuju reservoir Siranda. Terdapat desas-desus yang menyebut bahwa tentara Jepang yang sudah kalah melawan Sekutu telah menebar racun ke reservoir yang merupakan fasilitas air bersih yang diandalkan oleh warga Semarang.

Pegiat sejarah di Kota Semarang, Kesit Widjanarko, menyebut desas-desus itu muncul dari seorang pembantu rumah tangga di keluarga orang Jepang yang mencuri dengar pembicaraan tuannya. Saat itu tuannya tengah membicarakan soal air.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan pemahaman sepihak, si pembantu rumah tangga ini kemudian mengeluarkan pernyataan kepada warga-warga Semarang yang lain, bahwa air Semarang sudah diracun Jepang," kata Kesit kepada detikJateng, Senin (13/10/2025).

ADVERTISEMENT

Pada saat bersamaan, hubungan antara para pemuda dengan tentara Jepang sedang memanas. Sebab, Jepang yang sudah kalah dalam Perang Dunia II belum bersedia menyerahkan senjatanya kepada para pemuda.

Situasi yang sedang panas itu, lanjut Kesit, membuat desas-desus soal racun di reservoir Siranda itu semakin menguat.

Reservoir Siranda milik PDAM Tirto Moedal Semarang. Foto diunggah Jumat (22/8/2025).Reservoir Siranda milik PDAM Tirto Moedal Semarang. Foto diunggah Jumat (22/8/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

Kabar itu juga sampai di telinga dr Kariadi. Sebagai Kepala Laboratorium Rumah Sakit Purusara (sekarang RSUP Dr Kariadi), ia berinisiatif untuk memeriksa kebenarannya.

"Sang istri, drg Soenarti sebenarnya sudah melarang. Tapi dr Kariadi merasa itu sudah tanggung jawabnya. Kemudian pada 14 Oktober 1945 dia berangkat dari rumahnya di daerah Karangtempel disupiri oleh seorang anggota Polisi Istimewa," ujar Kesit.

Dari Karangtempel, mobil yang dinaiki dr Kariadi bersama Polisi Istimewa itu berjalan ke arah Bangkong. Kemudian mereka tiba di Jalan Ahmad Yani.

"Dulunya ruas jalan itu masih disebut Jalan Pandanaran. Di situ sedang terjadi kekacauan karena ada 400 orang Jepang yang memberontak," ungkap Kesit.

Ratusan orang itu merupakan orang Jepang yang berasal dari Cepiring, Kabupaten Kendal, yang hendak dipindahkan ke Temanggung untuk dipulangkan ke negara asalnya. Namun mereka transit terlebih dahulu di bekas Asrama Pelayaran Jepang di Semarang.

Pemberontakan itu terjadi karena logistik yang diberikan oleh pemuda Semarang yang menjaga mereka dinilai tidak layak. Orang-orang Jepang ini hanya diberi makan sehari sekali dan kondisi makanannya sudah jelek.

Kekacauan itu terjadi bersamaan dengan melintasnya dr Kariadi yang hendak memeriksa air di Reservoir Siranda. Dia kemudian dicegat dan ditembak hingga meninggal dunia.

"Dokter Kariadi tertembak jam 21.00 WIB malam, dibawa ke Rumah Sakit Purusara jam 23.30 WIB dan dinyatakan meninggal," kata Kesit.

Jenazah dr Kariadi rencananya akan dimakamkan keesokan harinya, 15 Oktober 1945. Namun rencana itu tertunda karena Jepang sudah mulai melakukan penyerangan di Kota Semarang pukul 02.30 WIB dini hari.

"Karena keadaan yang tidak memungkinkan, jenazah Dokter Kariadi baru bisa dimakamkan di halaman rumah sakit tiga hari kemudian, 17 Oktober 1945," jelas Kesit.

Adapun Pertempuran Lima Hari di Semarang itu berlangsung 15-19 Oktober 1945. Ribuan warga Semarang menjadi korban dari pertempuran tersebut. Perang baru usai setelah kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata.

Meski demikian, Kesit berpandangan jika penyebab utama pertempuran itu adalah sikap Jepang yang menolak untuk dilucuti senjatanya. Sedangkan gugurnya dr Kariyadi menjadikan pemantik semangat bagi para pemuda untuk semakin gigih melawan Jepang.

"Cerita-cerita itu berjalan dari mulut ke mulut selama pertempuran berlangsung, dan itu memang memberi bahan bakar semangat juang dan semangat melawan juga. Tapi sekali lagi kalau dikatakan penyebab ya tidak bisa," kata Kesit.

Kini, kisah dr Kariadi masih terus diabadikan. Meski belum resmi menyandang gelar pahlawan nasional, nama dr Kariadi diabadikan menjadi nama salah satu rumah sakit terbesar di Semarang.

Halaman 2 dari 2
(ahr/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads