- Biografi 10 Pahlawan Revolusi Singkat 1. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani 2. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) MT Haryono 3. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Suprapto 4. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Donald Isaac Panjaitan 5. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman 6. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo 7. Kapten TNI (Anumerta) Pierre Tendean 8. Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Katamso Darmokusumo 9. Kolonel TNI (Anumerta) Sugiyono Mangunwiyoto 10. Ajun Inspektur Polisi (Anumerta) Karel Satsuit Tubun
Peristiwa G30S/PKI menyebabkan sejumlah perwira tewas. Para korban kekejaman pemberontakan inilah yang kemudian diberi gelar Pahlawan Revolusi. Siapa saja yang menyandangnya?
Dirujuk dari laman Kalurahan Pleret, 8 orang perwira menemui ajalnya karena ulah PKI di Jakarta. Nama-nama mereka adalah Ahmad Yani, Mas Tirtodarmo Haryono, Raden Suprapto, Donald Isaac Panjaitan, Siswondo Parman, Sutoyo Siswomiharjo, Pierre Andreas Tendean, dan Karel Satsuit Tubun.
Tak hanya di Jakarta, di Jogja, 2 orang jadi korban kebiadaban gerombolan PKI, yakni Katamso Darmokusumo dan Sugiyono Mangunwiyoto. Kesepuluh orang inilah yang ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi lewat keputusan presiden. Bagi detikers yang penasaran, berikut biografi 10 pahlawan revolusi secara ringkas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biografi 10 Pahlawan Revolusi Singkat
Dirangkum dari buku Ensiklopedia Pahlawan Nasional tulisan Kuncoro Hadi, berikut biografi 10 Pahlawan Revolusi:
1. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani
Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1922. Sepak terjangnya di dunia militer Indonesia telah banyak. Misalnya saja, Ahmad Yani turut berkontribusi mengusir pasukan Sekutu yang bercokol di Magelang.
Sang jenderal juga pernah mendapat tugas menghancurkan gerombolan DI/TII di Jawa Tengah. Berbicara mengenai pemberontakan, Ahmad Yani pun menggunakan keahliannya untuk menangani PRRI/Permesta di Sumatera Barat.
Dalam tubuh tentara, segudang jabatan pernah ia emban. Di antaranya adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada 1962 dan Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Yani sendiri memulai karier sebagai seorang sersan lulusan Dinas Topografi Militer di Malang.
Pada 1965, sekelompok tentara memasuki rumah dan menembak Ahmad Yani di kamar tidurnya. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Gelar Pahlawan Revolusinya ditetapkan dengan Keppres Nomor 111/KOTI/1965.
2. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) MT Haryono
Terkenal karena kemampuan berbahasanya, MT Haryono adalah perwira yang banyak berkecimpung di urusan staf. Berbagai jabatan pernah dipangku MT Haryono, seperti sekretaris Dewan Pertahanan Negara, kepala Bagian Pendidikan Angkatan Perang, hingga sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Letjen MT Haryono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Saat pemberontakan PKI meletus, MT Haryono yang berusia 41 tahun dibunuh di rumahnya. Bersama jasad perwira tinggi lain, jasad MT Haryono dimasukkan sumur di Lubang Buaya.
Setelah ditemukan, jasadnya dikebumikan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Saat itu pula, pemerintah menaikkan pangkatnya menjadi letjen dan menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi. Penetapannya ada dalam Keppres Nomor 111/KOTI/1965.
3. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Suprapto
Suprapto muda menempuh pendidikan formal di MULO dan AMS yang berlokasi di Jogja. Selesai pada 1941, pria kelahiran Purwokerto ini lantas mengikuti pendidikan militer di Koninklijke Militaire Academie Bandung.
Belum sempat lulus, ia keburu ditawan dan dipenjara Jepang, meski berhasil lolos. Dari sana, Suprapto bergabung dengan Keibodan, Seinendan, Syuisyintai, dan Pusat Latihan Pemuda. Perannya tak lama lagi tiba.
Saat revolusi kemerdekaan berkecamuk, Suprapto bergabung dalam TKR. Ia ikut Pertempuran Ambarawa melawan Inggris. Setelah itu, Suprapto sering berpindah tugas. Di antaranya Kepala Staf Tentara dan Teritorial IV/Diponegoro dan Deputi Kepala Staf Angkatan Darat di Sumatera.
Ketika G30S/PKI berlangsung, Suprapto yang berpangkat mayor jenderal diculik lalu dibunuh di Lubang Buaya. Sosoknya diberi gelar Pahlawan Revolusi lewat Keppres Nomor 111/KOTI/1965 tertanggal 5 Oktober.
4. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Donald Isaac Panjaitan
Pendidikan militer Mayjen Panjaitan dimulai saat masa pendudukan Jepang. Kala itu, ia mengikuti latihan Gyugun dan mendapat pangkat letnan dua. Ketika Jepang menyerah, ia bergabung dengan Pemuda RI.
Selepas Kemerdekaan, DI Panjaitan turut membentuk TKR bersama pemuda lain. Ia diamanahi jadi komandan batalyon. Pernah juga diminta menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi dan Kepala Staf Umum IV Komandemen Tentara Sumatera.
Saat peristiwa G30S/PKI, gerombolan PKI menyambangi rumahnya. Ia ditembak dalam kondisi berseragam lengkap. Jenazahnya kemudian diangkut ke Lubang Buaya. Donald Isaac Panjaitan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dengan Keppres Nomor 111/KOTI/1965.
5. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman
Lahir di Wonosobo, 4 Agustus 1918, Letjen Siswondo Parman merupakan salah satu korban G30S/PKI. Ia diculik pada 30 September 1965 dini hari dan dibawa ke Lubang Buaya. Di sana, jenderal yang terkenal akan kemampuan intelijennya ini ditembak mati dan dimasukkan sumur.
Salah satu kontribusi Letjen Parman yang paling mencolok adalah membongkar rahasia gerakan APRA. Gerakan itu punya target menghabisi tokoh-tokoh militer di Indonesia. Berkat Parman, pemimpin gerakan sukses diringkus.
Mulanya menempuh pendidikan sebagai dokter, Siswondo Parman justru kemudian banting setir masuk dunia militer. Kariernya dimulai dengan masuk TKR dan terus melejit hingga pangkat mayor jenderal per Agustus 1964. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dengan Keppres Nomor 111/KOTI/1965.
6. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 23 Agustus 1922. Setelah menamatkan AMS, ia sempat menjadi pegawai negeri sebelum akhirnya bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pasca Proklamasi 1945.
Karier militernya berlanjut di Corps Polisi Militer (CPM) dengan berbagai jabatan penting, mulai dari ajudan Kolonel Gatot Subroto hingga Kepala Staf CPM Yogyakarta dan Komandan CPM Detasemen III Surakarta. Jabatan terakhir yang diembannya adalah Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat.
Pada pertengahan 1960-an, ia menolak rencana pembentukan angkatan kelima yang kontroversial. Akibatnya, pada 1 Oktober 1965 dini hari, rumahnya didatangi pasukan Cakrabirawa dan ia diculik dengan alasan dipanggil presiden. Jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya bersama perwira tinggi AD lain. Ia diberi gelar Pahlawan Revolusi dengan Keppres Nomor 111/KOTI/1965.
7. Kapten TNI (Anumerta) Pierre Tendean
Pierre Andreas Tendean lahir tahun 1939 dari ayah berdarah Minahasa dan ibu Prancis. Sejak kecil ia gemar dunia militer dan masuk Akademi Militer Teknik (Atekad) Bandung tahun 1958. Ia dikenal cakap, berprestasi, dan sempat terjun dalam operasi penumpasan PRRI di Sumatera.
Lulus pada 1962, Tendean diangkat sebagai Letnan Dua Zeni Tempur dan kemudian menempuh pendidikan intelijen. Ia berulang kali menyusup dalam operasi konfrontasi Indonesia-Malaysia hingga Singapura, mengumpulkan data penting. Prestasinya membuatnya naik pangkat menjadi Letnan Satu dan pada 1965 ditarik menjadi ajudan Jenderal AH Nasution.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumah Nasution digerebek pasukan G30S. Tendean yang saat itu berpangkat Lettu ditangkap karena disangka sebagai Jenderal Nasution. Ia lalu dibawa ke Lubang Buaya dan dieksekusi. Gugur di usia 26 tahun, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi lewat Keppres Nomor 111/KOTI/1965.
8. Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Katamso Darmokusumo
Katamso Darmokusumo adalah pria kelahiran Sragen, 5 Februari 1923. Berbeda dari jenderal-jenderal sebelumnya yang menemui ajal di Jakarta, Katamso dibunuh pada 2 Oktober 1965 di Kompleks Batalyon L yang bertempat di Kentungan, Jogja.
Sepak terjangnya dimulai dengan masuk PETA saat era Jepang. Ia kemudian bergabung dengan TKR pasca kemerdekaan, memimpin berbagai kompi, dan terlibat dalam pertempuran melawan Belanda. Ia juga sukses menumpas pemberontakan Batalyon 426 serta ikut operasi melawan PRRI/Permesta.
Kariernya terus menanjak hingga menjabat Kepala Staf Resimen di Sumatera. Dari Sumatera, Katamso dipindahkan ke Koplat Jakarta dan Pusdikif Bandung. Pada 1963 ia dipindahkan ke Yogyakarta sebagai Komandan Korem 072 Pamungkas.
Jasad Brigjen Katamso ditemukan dalam sumur yang ditutup tanah. Ia dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki Jogja. Pangkatnya dinaikkan dari kolonel menjadi brigadir jenderal. Ia juga diberi gelar Pahlawan Revolusi dengan Keppres Nomor 118/KOTI/1965.
9. Kolonel TNI (Anumerta) Sugiyono Mangunwiyoto
Korban PKI lainnya di Jogja adalah Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto, pria asli Gunungkidul. Ia awalnya bercita-cita menjadi guru, tetapi kemudian justru masuk PETA dan lulus sebagai budanco. Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan BKR dan berjuang dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Karier militernya terus berkembang, dari perwira di Yogyakarta hingga menjadi Komandan Batalyon 441 dan Kepala Staf Korem 072 Diponegoro pada Juni 1965. Ia juga aktif membina Resimen Mahasiswa dengan latihan-latihan militer.
Pada 1 Oktober 1965, Dewan Revolusi Jogja dibentuk di bawah pimpinan Mayor Mulyono. Sugiono saat itu belum tahu adanya Dewan Revolusi. Sesampainya di Korem, ia ditangkap dan dibawa ke Kentungan. Dini hari 2 Oktober 1965, Sugiono dipukul hingga meregang nyawa.
Setelah ditemukan pada 21 Oktober 1965, jenazah Sugiono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki. Pangkatnya dinaikkan jadi kolonel. Ia juga diangkat sebagai Pahlawan Revolusi dengan Keppres Nomor 118/KOTI/1965.
10. Ajun Inspektur Polisi (Anumerta) Karel Satsuit Tubun
Orang kesepuluh yang dikenal sebagai Pahlawan Revolusi adalah Karel Satsuit Tubun. Ia ditembak saat mengawal rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena yang berada dekat kediaman Jenderal Abdul Haris Nasution. Tubun kemudian diberi gelar Pahlawan Revolusi lewat Keppres Nomor 114/KOTI/1965.
Berasal dari Maluku Tenggara, Tubun mengikuti pendidikan kepolisian di Ambon pada 1951. Dari sana, ia dilantik jadi agen polisi tingkat II dan ditugaskan di Brigade Mobil (Brimob) Ambon. Setelah itu, Tubun dipindah ke Jakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi.
Sewaktu Indonesia mengonfrontasi Belanda seputar Irian Barat, Karel Satsuit Tubun ikut ambil bagian. Pangkatnya lalu dinaikkan jadi brigadir polisi pada tahun 1963. Saat G30S/PKI pecah, pangkatnya masih brigadir polisi. Selang 4 hari dari meninggalnya, pemerintah menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi Ajun Inspektur Polisi (AIP).
Nah, itulah biografi ringkas 10 Pahlawan Revolusi yang gugur akibat peristiwa G30S/PKI. Semoga bisa menambah wawasan detikers, ya!
(sto/alg)