Setiap tanggal 30 September yang diperingati sebagai peristiwa G30S, nama Pierre Tendean sering kali tidak terlepas untuk dikenang oleh masyarakat selama ini. Alasannya, sosok Pierre Tendean gugur saat tengah menjalankan tugasnya dalam melindungi AH Nasution. Bagaimana kisahnya?
Dalam aksi penculikan yang terjadi pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Pierre Tendean termasuk dalam daftar nama korban yang harus kehilangan nyawanya. Diketahui, Gerakan 30 September 1965 secara umum dapat diartikan sebagai upaya kudeta yang dilakukan dengan cara melakukan aksi penculikan dan penghilangan nyawa sejumlah perwira dari Angkatan Darat.
Melalui buku 'IPS Terpadu untuk SMP dan MTs Kelas IX: Jilid 3B' oleh Y Sri Pujiastuti, dkk., dijelaskan gerakan penculikan yang terjadi di tanggal 30 September 1965 memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Termasuk para perwira TNI-AD yang juga gugur dalam peristiwa tersebut. Salah satunya ada Lettu Pierre Andreas Tendean yang merupakan ajudan dari AH Nasution.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gugurnya Pierre Tendean diwarnai dengan perjuangan yang penuh dengan dedikasi yang begitu menyentuh hati. Lantas, apa yang terjadi pada Pierre Tendean hingga dirinya menjadi korban penculikan aksi G30S? Berikut kisahnya.
Intinya:
- G30S merupakan upaya kudeta melalui penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira TNI AD, termasuk Pierre Tendean.
- Pierre Tendean dikenang dalam peristiwa G30S karena gugur saat menjalankan tugas melindungi Jenderal AH Nasution.
- Kisah gugurnya Pierre Tendean menunjukkan dedikasi dan perjuangan yang menyentuh hati, sehingga namanya terus dikenang masyarakat.
Siapa Pierre Tendean?
Sebelum mengetahui kisahnya secara lebih dekat, mari mengenal terlebih dahulu sosok Pierre Tendean ini. Pierre Andries Tendean atau Pierre Tendean adalah salah satu Pahlawan Revolusi yang gugur dalam usia masih tergolong muda.
Pada saat aksi penculikan 30 September 1965 dilakukan, pria kelahiran tahun 1939 tersebut masih berusia 26 tahun. Kapten CZI TNI (Anumerta) Pierre Tendean lahir di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1939. Menurut buku 'Pahlawan Indonesia' oleh Tim Media Pusindo, Pierre lahir dari keluarga yang berkecukupan karena sang ayah berprofesi sebagai dokter. Awalnya, sang ayah menginginkan Pierre untuk masuk ke Fakultas Kedokteran.
Namun, ketertarikan Pierre Tendean dalam dunia militer justru membawanya meniti karier pada bidang tersebut. Sosoknya merupakan lulusan dari Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) Angkatan IV.
Selama menjalani karier di militer, Pierre dikenal sebagai prajurit yang berprestasi. Tak hanya ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Taruna dan Ketua Senat Korps Taruna, di tahun 1963 Pierre mendapatkan tugas ke Malaysia. Pada tahun itu dirinya ditugaskan untuk bertindak sebagai intelijen di wilayah tersebut.
Puncak karier Pierre Tendean diraih pada tahun 1965 yang mana dirinya resmi ditugaskan sebagai ajudan dari Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, yaitu Jenderal Nasution. Namun demikian, di tahun yang sama ia justru kehilangan nyawanya saat sedang bertugas.
Kisah Perjuangan Pierre Tendean Lindungi AH Nasution
Gugurnya Pierre Tendean menunjukkan dedikasinya sebagai prajurit yang berusaha melindungi Jenderal AH Nasution yang pada saat kejadian adalah atasannya. Kendati begitu, sebenarnya ada dua versi cerita tentang kejadian penculikan yang menimpa Pierre Tendean dalam aksi Gerakan 30 September 1965.
Versi pertama dijelaskan dalam buku 'Kisah Perjuangan Pahlawan Indonesia' oleh Lia Nuralia dan Iim Imadudin, yang mana dikisahkan saat kejadian berlangsung, Pierre Tendean memang tengah berada di kediaman AH Nasution.
Saat dini hari di tanggal 1 Oktober 1965 berlangsung, Pierre yang sedang berada di paviliun kediaman AH Nasution terbangun karena mendengar suara gaduh dari luar. Saat mencari tahu sumber suara tersebut, secara tiba-tiba Pierre justru sudah disergap.
Awalnya ia sudah menjelaskan kepada gerombolan pelaku bahwa dirinya adalah ajudan AH Nasution. Nahas, beberapa di antara mereka justru tidak percaya dan tetap meyakini Pierre sebagai target penculikan mereka, yaitu AH Nasution. Akibatnya Pierre Tendean diculik begitu saja dengan tangan terikat dan dibawa masuk ke dalam truk.
Namun, ada juga versi yang menyebut Pierre Tendean mengajukan dirinya sebagai Jenderal AH Nasution. Versi ini menerangkan Pierre Tendean sengaja melindungi AH Nasution dengan cara mengatakan bahwa dirinya adalah sang jenderal, sehingga para pelaku menculiknya alih-alih AH Nasution yang asli. Kendati demikian, beberapa sumber justru menyebut kalau Pierre Tendean adalah korban salah tangkap karena para pelaku mengira dirinya adalah Jenderal Nasution.
Seperti dijelaskan dalam buku 'Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S' karya Herman Dwi Sucipto, sebelum kejadian berlangsung sebenarnya Pierre Tendean hendak pulang ke rumahnya yang ada di Semarang untuk merayakan hari ulang tahun sang ibu, yaitu tepat di tanggal 1 Oktober 1965.
Sayangnya, aksi 30 September 1965 justru membuat dirinya keburu diculik karena salah dikira sebagai Jenderal AH Nasution. Hal senada juga dijelaskan dalam buku 'Pierre Tendean' karya Masykuri, yang mengisahkan tentang malam kejadian Pierre Tendean diculik.
Pada saat itu, Pierre bersama dengan ajudan lainnya sedang berada di paviliun. Mendengar suara tembakan, Pierre segera berjalan ke luar setelah mengisi senjatanya untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Belum sempat dirinya memahami situasi, segerombolan orang justru langsung menyergap dan menyuruhnya berada dalam posisi duduk di bawah pohon dekat rumah penjagaan. Beberapa orang meneriakkan nama Nasution pada Pierre Tendean.
Setelah teriakan tersebut, terdengar bunyi peluit yang disusul tindakan gerombolan pelaku tadi pergi meninggalkan rumah kediaman Jenderal Nasution. Tentunya dengan membawa Pierre Tendean.
Akhir Hidup Pierre Tendean dalam Peristiwa G30S
Setelah diculik, Pierre Tendean harus menyaksikan penyiksaan yang dialami oleh perwira TNI-AD yang sama-sama menjadi korban penculikan. Mereka saat itu berada di wilayah Lubang Buaya. Sebelum mendapatkan siksaan yang sama, Pierre Tendean ternyata menunjukkan sikap perlawanan.
Masih dijelaskan dalam sumber yang sama, Pierre Tendean menentang adanya Gerakan 30 September 1965 tersebut. Ia menganggap tindakan tersebut kejam dan sewenang-wenang, sehingga meski dirinya berada di bawah kekuasaan mereka tetap tak akan gentar. Sikap yang ditunjukkan oleh Pierre Tendean inilah yang membuatnya mendapatkan siksaan paling akhir.
Dikatakan siksaan yang diperoleh Pierre berupa tembakan yang dilakukan dari belakang. Kemudian setelah tak berdaya, dirinya diseret dan dimasukkan ke dalam sumur tua yang menjadi tempat untuk 'membuang' para perwira tinggi TNI-AD yang sebelumnya telah mendapatkan tindakan serupa.
Pierre Tendean yang gugur saat Gerakan 30 September 1965 mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Revolusi. Namanya juga mendapatkan kenaikan pangkat Anumerta.
Itulah tadi kisah perjuangan Pierre Tendean yang gugur dalam Gerakan 30 September 1965. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan baru.
(sto/alg)