Roblox Jadi Kurikulum di Solo, Pakar Unika: Sekolah Ajarkan Controlling

Roblox Jadi Kurikulum di Solo, Pakar Unika: Sekolah Ajarkan Controlling

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Jumat, 12 Sep 2025 20:43 WIB
Roblox
Roblox (Foto: ABC News)
Semarang -

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melarang murid-murid memainkan game Roblox. Di sisi lain di Solo Roblox justru menjadi ekstrakurikuler. Pakar Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Indra Dwi Purnomo M. Psi., Ph.D, Psikolog, menilai pihak sekolah juga bisa mengajarkan anak mengontrol diri.

"Memang Roblox itu kan seperti dua mata pisau ya, bisa membuat kecanduan dan bisa mengasah kreativitas anak. Sekolah mungkin bisa mengajarkan controlling, dan sebagainya, tidak hanya transfer pengetahuan," jelas Indra saat dihubungi detikJateng, Jumat (12/9/2025).

Kepala Center for Addiction Studies Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata itu menekankan, dalam pengadaan ekstrakurikuler Roblox, harus dipastikan target kurikulumnya dengan jelas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Walaupun manfaatnya besar, sekolah harus benar-benar mempertimbangkan supaya ekskul ini optimal. Targetnya anak-anak di depan ngapain harus jelas, jangan cuma menikmati sendiri main game-nya. Harus sungguh terarah,"kata Indra.

"Makanya kalau ini diterapkan di sekolah kita harus menimbang kesiapan SDM, kondisi anak, dan pengawasan online harus ada pengamanannya," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Indra menjelaskan, menilai anak-anak rentan kecanduan hingga berisiko menjadi korban perundungan (bullying) di dunia maya. Hal itu karena adanya fitur komunikasi dalam Roblox.

"Roblox ini punya fitur chat yang membuat anak bisa berinteraksi dengan banyak orang. Tapi di situ juga terbuka peluang untuk cyber bullying, pelecehan, bahkan predator anak," ujarnya.

Menurut Dosen Fakultas Psikologi itu, dengan literasi anak yang masih rendah, mereka rentan menjadi korban. Terlebih, anak-anak di bawah 18 tahun disebut masih kurang bisa mengontrol perilakunya.

"Kalau pemainnya sampai kecanduan, ini problem yang kompleks terutama karena sebagian memang penggunanya ini anak-anak dan remaja," ujar Indra.

Akademisi dan praktisi psikologi klinis itu menyebut, sejumlah kasus konseling yang ia tangani menunjukkan efek serius kecanduan Roblox. Ia menyebut ada pelajar SMP yang sampai begadang hingga tidak mau berangkat sekolah.

"Yang perlu kita tegaskan dan garisbawahi, Roblox ini memicu sekali kecanduan karena sistem reward-nya instan. Jadi memang memicu keinginan untuk terus bermain. Kalau terlalu sering mereka bisa kehilangan minatnya di dunia nyata," ungkap Indra.

"Jadi mereka cenderung sendiri, nggak mau sosialisasi langsung, duduk, main, ngechat, di situ aja. Nggak mau belajar, nggak mau olahraga. Dalam kasus yang berat itu ganggu tidurnya juga," lanjutnya.

Menurut dosen yang kerap menerbitkan karya ilmiah dengan topik isu psikologis dan sosial itu, Roblox ibarat dua mata pisau yang bisa memberi dampak positif tapi juga bisa memberi dampak negatif jika tak digunakan dengan bijak.

"Game itu kan bisa bantu menstimulasi kreativitas, tergantung yang pegang ini siapa. Kalau yang pegang masih umur Gen Alpha, Gen Z, controlling-nya masih kurang," jelasnya.

"Kontennya terbuka, anak bisa terpapar kekerasan, bahasa kasar, bahkan omongan seksual. Ini mengganggu regulasi emosi dan bisa memicu perilaku agresif," katanya.

Ia menegaskan, anak-anak dan remaja belum matang secara psikologis untuk mengendalikan dorongan diri.

"Prefrontal cortex mereka belum berkembang sempurna, jadi sulit membedakan realita dan dunia game. Karena itu, tanpa pengawasan, risikonya sangat besar," tuturnya.

Indra pun mendorong orang tua agar lebih proaktif mendampingi anak bermain game online. Ia menyebut, butuh kolaborasi antara orang tua dan anak agar permainan Roblox tak terlalu berdampak negatif.

"Gunakan aplikasi parental control, batasi durasi main, dan jangan lupa sediakan aktivitas alternatif di dunia nyata. Olahraga, seni, atau kegiatan kebersamaan bisa jadi penyeimbang," sarannya.

"Kalau kecanduan sudah berat, perlu kolaborasi dengan psikolog dan psikiater. Tapi lebih penting pencegahan sejak awal. Jangan sampai anak-anak kehilangan dunia nyatanya hanya karena tenggelam di dunia maya," lanjutnya.

Ia juga meminta pemerintah dan orang tua untuk tak hanya melarang, tetapi juga bisa menciptakan aktivitas lain yang menyenangkan bagi anak.

"Pemerintah tidak hanya berpikir tentang bagaimana memblokir, tapi harusnya membuat banyak kegiatan promotif," ujarnya.

"Bagaimana anak bisa bahagia, ngelola dirinya, menemukan berbagai alternatif kebahagiaan dalam hidupnya, game apa yang tidak membuat mereka jadi tidak interaksi sosial. Bukan sudah kejadian baru diblokir, sudah banyak korban, percuma juga," tutupnya.




(aap/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads