Desa Melikan disebut sebagai sentra produksi gerabah di Klaten. Desa ini terkenal dengan teknik unik bernama Putaran Miring yang sarat filosofi menghormati perempuan pengrajin.
Saat detikJateng berkunjung ke Desa Melikan pada Kamis (11/9/2025), tampak tumpukan hasil kerajinan gerabah tertata di rumah-rumah warga hingga dijual di pinggir jalan.
Aktivitas warga sekitar pun tampak bergelut dengan gerabah, mulai dari pembuatan hingga penjualan. Pandangan mata nyaris tak lepas dari tumpukan gerabah di lingkungan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masuk ke tempat produksi gerabah putaran miring di Melikan, tampak dua perempuan tengah sibuk membikin gerabah yang berbahan dasar tanah liat. Salah seorangnya yakni Sri Yulianti (50).
Yuli tampak membuat gerabah menggunakan alat putaran miring dengan posisi duduk di sebuah kursi kecil. Alat tersebut terbuat dari bambu, kayu, dan tali rotan.
Tali rotan tersimpul di dua sisi, yakni di tembok dan seruas potongan bambu yang lentur di tanah. Di tengah tali rotan itu, sebuah kayu berbentuk roda berdiameter sekitar 50 cm.
Dengan alat tersebut, kaki kiri Yuli dengan santainya menggerakkan tali tersebut dengan cara dipancal. Kayu pun berputar.
Tangan Yuli membuat sebuah mangkok berdiameter 8 cm dengan lihai. Jempol Yuli menekan segenggam tanah liat bagian luar yang berputar di atas kayu.
Sementara jemari lainnya menekan bagian dalam tanah liat itu sehingga dalam waktu kurang lebih 10 detik. Yuli menggunakan seutas tali untuk memisahkan tanah liat yang berbentuk mangkok itu.
Sebuah mangkok bundar sempurna tercipta. Tanpa jedah, tangan Yuli mengambil segenggam demi segenggam tanah liat untuk dibuat mangkok.
Keahlian Yuli itu tidak semata-mata didapatnya dalam waktu satu malam. Yuli mengaku belajar membuat gerabah sejak kecil menggunakan alat putaran miring.
"Celengan dulu bikin setelah pulang sekolah," ungkap Yuli ditemui detikJateng di rumah produksi gerabah di Melikan.
Sudah 30 tahun Yuli membuat mangkok hingga gelas gerabah. Dalam sehari, Yuli bisa membuat 500 mangkok gerabah.
"Yang (mangkok) kecil bisa 500 (dibuatnya dalam satu hari). Dari jam 8 (mulai produksi) sampai sore, sambil istirahat," ungkap wanita yang mengenakan hijab itu.
Ukuran alat putaran miring bervariasi. Yuli menjelaskan, ukuran alat tersebut disesuaikan dengan bentuk tubuh pembuat gerabah.
"Ukuran alatnya menyesuaikan dengan orangnya," katanya.
Sejarah Alat Putaran Miring
Ternyata, alat putar miring untuk membuat gerabah tak lepas dari perempuan di Melikan. Zaman dahulu, para wanita di Melikan mengenakan jarik. Mereka turut menjadi tulang punggung keluarga hingga kini dengan membikin gerabah.
Dibuatnya alat putaran miring itu lantaran para wanita mengenakan jarik maupun kebaya. Dengan menggunakan alat putaran miring, para perempuan masih bisa memproduksi gerabah tanpa kesulitan meski mengenakan jarik.
Para wanita di Melikan bisa membuat gerabah dengan posisi kaki berselonjor, tidak mengangkang. Meski tidak lagi mengenakan jarik, alat putaran miring tetap dipakai.
"Putaran miring untuk menghormati perempuan," ungkap Yuli.
Seorang pengrajin gerabah di Melikan, Waris Wartono, membenarkan alat putar miring awalnya dibuat untuk para perempuan. Kini, kata Waris, ada pula pengrajin laki-laki yang menggunakan alat tersebut.
"Memang sekarang sudah banyak yang tidak pakai kebaya, tapi alat itu dibuat karena perempuan dulu banyak yang pakai kebaya atau jarik," ungkap Waris.
Waris menyebutkan, alat putaran miring telah eksis sejak ratusan tahun. Alat tersebut digunakan untuk membuat gerabah yang berukuran lebih kecil lantaran kemiringannya itu.
"Sudah ratusan tahun ada itu. Kalau putaran miring untuk buat gerabah yang kecil-kecil kayak mangkok, kendi kecil. Soalnya kalau buat yang besar kan tidak bisa, karena posisinya miring," jelas Waris.
Adapun Gerabah Putaran Miring Melikan telah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda (WBTb) oleh yang saat itu masih Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia pada 2022.
(akd/akd)