Aliansi mahasiswa baru (Maba) UIN Walisongo Semarang menggelar aksi demonstrasi. Mereka menyoroti mahalnya biaya kuliah, kewajiban tinggal di asrama atau mahad, hingga masalah keamanan di lingkungan kampus.
Pantauan detikJateng, aksi tersebut digelar sekitar pukul 15.00 WIB. Para mahasiswa yang mengenakan pakaian dominan hitam itu berjalan dari gerbang kampus 3 UIN hingga gedung Rektorat yang terletak di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.
Mereka membentangkan poster bertuliskan 'UINWS Mahad', 'Pembungkaman Sudah Masuk Kampus', 'Biaya Mahad Mencekik Ortu Menjerit'. Mereka juga membawa keranda bertuliskan 'Matinya Rasa Kemanusiaan'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koordinator aksi, Iqbal Mujahid, menyebut aksi ini murni digerakkan mahasiswa baru yang resah karena sejak awal masuk sudah dibebani berbagai biaya tambahan, di antaranya pembayaran Mahad sebesar Rp 4 juta.
"Teman-teman Maba ketika mereka baru masuk dan belum bertemu mahasiswa lain itu mereka sudah kebingungan dengan fasilitas Mahad. Padahal ketika awal-awal masuk perkuliahan, mereka dituntut membayar Mahad kalau nggak mereka mendapat ancaman tidak bisa KRS-an," kata Iqbal di Rektorat UIN Walisongo, Jumat (22/7/2025).
Iqbal menilai birokrasi kampus tidak transparan dalam evaluasi program Mahad. Padahal, kata dia, ada tim monitoring dan evaluasi (Monev) yang seharusnya membuka laporan tiap tahun. Ia juga mengungkapkan kasus kehilangan barang di lingkungan Mahad yang marak terjadi.
"Mirisnya teman-teman Maba sudah tidak bisa berharap terhadap keamanannya, karena dalam sehari ada terjadi tiga kehilangan laptop, uang. Dalam seminggu lebih dari tiga kali," ujarnya.
Ia pun menuntut agar Mahad tak dijadikan program wajib. Terlebih, biaya Mahad tidak sedikit dan terkesan memberatkan bagi Maba.
"Kalau kita berkaca di UIN Malang, memang basisnya pondok pesantren. Kalau Walisongo kan nggak. Padahal bayarnya Rp 4 juta untuk empat bulan," jelasnya.
Ia juga mengkritisi kebijakan Mahad yang dinilai ugal-ugalan. Menurutnya, meski sudah ada surat edaran biaya Rp 4 juta dengan rincian Rp 2 juta untuk konstruksi dan Rp 2 juta untuk penunjang, penggunaan dana tersebut tidak pernah dijelaskan secara terbuka.
Tak hanya Mahad, mahasiswa juga memprotes kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Iqbal mencontohkan, di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), UKT tertinggi naik dari Rp 6,2 juta menjadi Rp 7 juta. Kenaikan itu dinilai memberatkan calon mahasiswa dan tidak diimbangi sosialisasi yang jelas.
"Waktu itu di (program studi) Sosiologi ada 20 calon mahasiswa yang mempertimbangkan mereka tidak akan lanjut berkuliah karena biaya terlalu tinggi. Tapi birokrasi hanya menekan Ormawa agar menjelaskan kepada orang tua mahasiswa, tanpa memberi alasan urgensi kenaikan UKT," kata Iqbal.
Iqbal menambahkan, beban biaya ini semakin berat ketika ada mahasiswa baru yang orang tuanya tengah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan ada yang terpaksa batal kuliah.
"Di Tarbiyah ada kasus calon mahasiswa sudah bayar UKT, tapi belum bisa bayar Mahad. Sedangkan kondisi dari orang tuanya itu sedang mendapat stroke. Ketika dia menanyakan, jawabannya dia tidak akan bisa mengisi KRS kalau Mahad belum dibayar," bebernya.
Lebih jauh, Iqbal menyebut ada tiga tuntutan utama dalam aksi ini. Pertama, pencabutan kewajiban Mahad bagi mahasiswa baru. Kedua, transparansi penggunaan UKT dan dana Mahad. Ketiga, evaluasi serius terhadap isu-isu kampus, mulai dari keamanan, kekerasan seksual, hingga fasilitas ramah disabilitas.
"Di Sosiologi ada empat kekerasan seksual, tapi masih sedang didata," ungkapnya.
Mahasiswa baru Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fadil (18) mengaku keberatan dengan kewajiban Mahad. Ia menyebut sudah membayar Rp 4 juta untuk Mahad, tatpi fasilitas yang didapatnya jauh dari memadai.
"Saya dulu di Mahad lama, kasurnya nggak ada, saya berempat, itu kasurnya tingkat dua, yang satu tidur di lantai. Ada teman saya yang belum dapat kamar, jadi ikut ngekos di kakak tingkat. Padahal bayar penuh," ungkap Fadil.
Ia menilai biaya Mahad Rp 4 juta untuk 4 bulan tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan. Ia pun menilai pelayanan Mahad belum maksimal.
"Teman saya mondok setahun Rp 3 juta sudah termasuk makan. Kalau di sini 4 bulan Rp 4 juta, dapat makan dua kali sehari, tapi lauknya itu-itu saja. Menurut saya enggak worth it Rp 4," ucapnya.
"Kalau pribadi saya agak keberatan dengan Mahad sama kenaikan UKT. Ekonomi keluarga menengah ke bawah, jadi terasa berat. Waktu itu saya langsung bayar Rp 8,3 sama UKT, keberatan sekali," tambahnya.
Tanggapan Rektorat
Sekitar pukul 16.40 WIB, Wakil Rektor IUinWalisongo,Muchsin, tampak keluar tanpa memberi sepatah kata kepada pendemo. Saat ditanya awak media tanggapan terhadap tuntutan mahasiswa, ia mengaku belum tahu.
"Saya belum tahu. Saya belum tahu. Nanti kalau sudah tahu, saya baru ngomong. Saya belum tahu suratnya," ujarnya.
Kendati demikian, ia mempersilakan mahasiswa yang memprotes program wajib Mahad yang telah diterapkan sejak 2023 itu untuk membuat pernyataan kepada pimpinan agar dilaksanakan audiensi.
"Kalau audiensi kan biasa. Silakan bikin perwakilan, pernyataan dibikin, ketemu pimpinan, nggak masalah. Kita terbuka," jelasnya.
(apu/afn)