Pilu Mbah Wajib Magelang, Tanah Ditinggali 62 Tahun Tetiba Jadi Milik Orang

Pilu Mbah Wajib Magelang, Tanah Ditinggali 62 Tahun Tetiba Jadi Milik Orang

Eko Susanto - detikJateng
Rabu, 20 Agu 2025 18:05 WIB
Wajib beserta anaknya, Sawali Muhamat Al Rozin memperlihatkan Letter C yang diterbitkan pada tahun 1986 kepada awak media di rumahnya, Rabu (20/8/2025).
Wajib beserta anaknya, Sawali Muhamat Al Rozin memperlihatkan Letter C yang diterbitkan pada tahun 1986 kepada awak media di rumahnya, Rabu (20/8/2025). (Foto: Eko Susanto/detikJateng)
Magelang -

Narasi dugaan mafia tanah yang menimpa kakek bernama Wajib (70), warga Kembangsari, Madyogondo, Ngablak, Kabupaten Magelang viral di media sosial. Disebutkan, Wajib tiba-tiba kehilangan tanah warisan yang ditempatinya selama 62 tahun terakhir.

Postingan soal dugaan mafia tanah itu salah satunya diunggah akun Instagram @andreli_48. Unggahan tersebut menampilkan foto Wajib yang tengah berada di rumah yang kini menjadi sengketa itu.

"Diduga menjadi korban mafia tanah, kakek 72 tahun di dusun kembangsari desa madyogondo kec ngablak magelang kehilangan tanah dan rumah warisan yg ditempati selama 62 tahun," tulis akun tersebut dalam unggahannya, seperti dilihat detikJateng, Rabu (20/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ditemui detikJateng, anak kedua Wajib, Sawali Muhamat Al Rozin (50) menyebut ayahnya memiliki tanah itu dari warisan orang tua sejak 1986 sampai sekarang. Wajib memiliki leter C dan D dengan atas namanya. Namun tiba-tiba, muncul sertifikat hak milik atas nama seseorang berinisial W, warga Kabupaten Temanggung.

"Letter C dan D itu atas nama bapak semua dan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang). Muncul sertifikat atas nama W (warga Temanggung) tahun 2018. (Wajib) Sampai sekarang masih bayar SPPT, cuma yang 2025 belum bisa bayar," kata Sawali kepada sejumlah awak media saat ditemui di rumahnya, Rabu (20/8/2025).

ADVERTISEMENT

Sawali menyebut pihaknya terakhir membayar SPPT pada tahun 2024 sebesar Rp 18.512 dengan luas tanah 260 meter persegi dan bangunan 120 meter persegi. Dia memastikan tidak pernah menjual tanah yang ditempati sejak dulu itu.

"Tidak pernah menjual tanah, hibah atau apapun. Tidak pernah. Tidak pernah tanda tangan (apapun)," sambung Sawali.

Sawali menambahkan, pada tahun 2023, pihaknya pernah dimintai uang sebesar Rp 80 juta oleh W untuk membeli tanah tersebut. Insiden itu bahkan sempat dimediasi di kantor desa setempat.

Saat itulah, Sawali melihat fotokopi sertifikat atas nama W warga Temanggung. Saat itu W menyampaikan jika W adalah pemilik tanah yang sekarang ditempati Wajib.

"Nuntutnya (W) harus bayar Rp 80 juta nanti sertifikat mau dikasihkan. Belum pernah lihat sertifikatnya, cuma fotokopi di Balai Desa (saat mediasi)," imbuhnya yang tinggal di lereng Gunung Andong, itu.

Sawali menambahkan, orang tuanya menempati rumah dan lahannya sejak tahun 1963. Sementara letter C atas nama Wajib muncul pada 1986.

"Bapak nempati (sejak 1963), tapi munculnya letter C sejak tahun 1986," ujarnya.

Mediasi sudah berlangsung hingga 8 kali, namun tak kunjung menemui titik terang. Dirinya berharap tanah yang ditempati tersebut kembali atas nama orang tuanya, Wajib.

"Harapan kami munculnya sertifikat atas nama bapak. Belum ada (titik temu mediasi). Di balai desa sampai 8 kali mediasi (terakhir akhir 2024), cuma tuntutannya harus mengeluarkan uang," ujar dia.

Sawali menyebut pihaknya sudah melakukan langkah hukum seperti mengajukan gugatan di pengadilan, namun belum berbuah hasil.

"Belum ada hasilnya karena pengadilan memutuskan tidak berwewenang mengadili. Dan penyidikan pun dihentikan oleh bapak penyidiknya. Karena tidak ada tindakan melawan hukum atau tindak pidana," kata Sawali.

Penjelasan Pihak Desa

Sementara itu, Kepala Desa Madyogondo, Sawal mengatakan, tanah yang ditempati Wajib, berdasarkan ricik desa tahun 1959 tercantum atas nama Buang. Menurutnya, dalam perkembangannya, yang bersangkutan mengurus tanahnya sekitar tahun 2017.

"Karena Pak Buang ada di Temanggung. Intinya mau minta tanah yang sekarang ditempati Pak Wajib. Desa melihat data yang ada warisan dari Mbah Soinangun kepada Pak Buang," kata Sawal saat dihubungi detikJateng.

Sawal menjelaskan, pada 2019, saat ada PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap), putra Buang berinisial W mengajukan hak sertifikat tanah atas dasar ricik desa tahun 1959 tersebut. Sawal menyebut saat itu tak ada komplain dari pihak Wajib.

"Ricik atau istilahnya buku atau data kepemilikan tanah sebelum Letter C itu ada. Terus desa waktu itu ada kepanitiaan PTSL diajukan (dasar ricik) terus terbit (sertifikat) dan tidak ada komplain dari Pak Wajib," ujarnya.

Sawal menambahkan, permasalahan tersebut telah dimediasi. Pihak desa mengundang dari Wajib maupun Buang yang diwakili ahli warisnya, W. Namun demikian dalam mediasi tersebut tidak ada penyelesaian.

"Karena tidak ada penyelesaian, pihak Pak Wajib mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Mungkid. Keputusan dari Pengadilan, yang bisa memutuskan PTUN," ujarnya.

"Saya juga Pemdes dilaporkan sampai ke Polda. Sudah diproses, Polda melimpahkan ke Polresta," kata Sawal.

Terkait klaim pihak Wajib soal kepemilikan Letter C dan D serta SPPT sampai 2024, Sawal menyebut tak tahu pasti peralihan kepemilikan. Pihaknya mengaku hanya berpedoman pada ricik desa.

"Dalam mediasi berembuk peralihan (dari Pak Wajib ke Pak Buang), kita juga untuk menemukan kebenarannya tidak tahu persis. Peralihannya kita juga bingung," tuturnya.

Respons Polresta Magelang

Terkait dengan pelaporan yang diajukan wajib, Kasat Reskrim Polresta Magelang, Kompol La Ode Arwansyah, mengatakan perkara sudah dihentikan penyelidikannya. Alasannya belum ada peristiwa pidana terkait laporan tersebut.

"Sudah henti lidik (penyidikan) sebelum saya masuk (Polresta Magelang). (Alasan dihentikan) belum ada peristiwa pidana," kata La Ode.

Sementara itu, dihubungi secara terpisah, Kepala BPN Kabupaten Magelang A Yani mengatakan masih enggan berkomentar.

"Maaf, kami masih monev. Dan belum ada pernyataan apapun dari BPN," pungkasnya.




(aku/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads