Anggota Pers Mahasiswa UIN Semarang Merasa Dapat Tekanan gegara Pemberitaan

Anggota Pers Mahasiswa UIN Semarang Merasa Dapat Tekanan gegara Pemberitaan

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Jumat, 25 Apr 2025 23:11 WIB
Kampus UIN Walisongo Semarang
Kampus UIN Walisongo Semarang. Foto: dok. UIN Walisongo
Semarang -

Sejumlah anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang mengaku mendapat tekanan dan intervensi usai mempublikasikan berita soal kedatangan anggota TNI ke kampus. Mereka mengaku diminta hapus pemberitaan hingga diancam menggunakan UU ITE.

Hal ini diungkapkan anggota Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, Alfarizy. Ia mengatakan, kejadian bermula saat Selasa (15/4/2025) lalu SKM Amanat memberitakan soal Babinsa Koramil Ngaliyan, Sertu Rokiman, yang mendatangi kampus UIN Walisongo di Kecamatan Ngaliyan, saat digelarnya diskusi 'Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik', Senin (14/5).

"Rabu sekitar jam 12.00 WIB siang, saya dichat Babinsa, Pak Rokiman, minta take down berita," kata Alfarizy saat dihubungi, Jumat (25/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rokiman disebut mempermasalahkan fotonya yang digunakan dalam pemberitaan. Rokiman juga disebut sempat menelepon Alfarizy untuk meminta agar berita yang memasang fotonya itu dihapus.

"Katanya fotonya kan sudah tersebar, lalu minta di-take down. Dia bilang itu masalah privasi, fotonya. Saya jelaskan, memang fotonya sudah diblur dua orang di fotonya," jelas Alfarizy.

ADVERTISEMENT

"Setelah itu dia bilang 'tapi kan sudah tersebar luas sampai media nasional'. Saya jelaskan kalau menurut saya itu sudah sesuai kode etik. Lalu dia menanyakan lokasi kantor redaksi SKM," lanjutnya.

Alih-alih menuruti permintaan, SKM Amanat tetap teguh mempertahankan pemberitaan tersebut, karena merasa pemberitaan sudah sesuai kaidah jurnalistik dan tak ada penggiringan opini.

"Rabu pagi memang Pak Rokiman sudah di depan kantor redaksi SKM, saya dikasih tahu teman ada seorang berseragam Babinsa duduk-duduk di sekitar situ," jelasnya.

Hari itu, anggota SKM Amanat pun mengosongkan kantor sebagai upaya mitigasi. Selain itu, ia juga melaporkan kejadian tersebut kepada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang. Namun ia tak melapor ke pihak kampus.

"Pelaporan ke pihak kampus saya pikir tidak, tapi mungkin ke yang sifatnya komunitas, organisasi pers. Meski tidak ada kontak fisik, dengan adanya ini, kebebasan berpendapat akhirnya dipertanyakan. Mengganggu kestabilan demokrasi," tegasnya.

Sementara itu, mantan anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Justisia juga mengaku mendapat tekanan. Salah satu anggotanya, Wati, mengaku menerima ancaman akan dilaporkan melalui UU ITE apabila tidak menghapus berita yang mereka unggah.

Awalnya, Wati mendapat pesan hingga telepon dari nomor tak dikenal, Selasa (15/4) pagi. Berkali-kali telepon tak diangkat, nomor itu terus bertanya posisi Wati berada di mana hingga akhirnya ia memutuskan mengangkat telepon tersebut.

"Saya angkat, bapaknya langsung tanya aku di mana, saya jawab 'bapak siapa?' karena bapaknya tidak mengenalkan diri tapi dari aplikasi dicek itu dia Babinsa. Dia tanya 'maksud beritanya apa ya?'," kata Wati menirukan penelepon.

Wati yang sudah bukan lagi anggota LPM Justisia itu mengaku sempat bingung karena si penelepon misterius terus mendesak dan menyinggung isi berita yang diunggah LPM Justisia, yang memuat foto dan identitas anggota TNI yang mendatangi diskusi mahasiswa soal militerisme.

Penelepon pun terus meminta Wati menyambungkannya dengan pihak yang bertanggung jawab atas pemberitaan soal TNI masuk kampus. Bahkan, kata Wati, penelepon mengancam akan melaporkan LPM Justisia.

"Saya rekam cuma di bagian akhir, ketika bilang mau lapor UU ITE nggak kerekam. Kerekamnya pas bilang 'kalau masih dilanjut, urusannya bisa panjang loh, Mbak'," ungkapnya.

Situasi serupa dialami LPM Reference. Salah satu anggota LPM Reference, Frederich, mengatakan setelah mempublikasikan berita, mereka mendapat tekanan melalui spam telepon, juga ada oknum yang meminta bertemu dengan penulis berita tersebut.

Ia mengatakan, spam teror itu terus berlangsung selama dua hari. Ia mengaku tak membalas lebih jauh untuk menghindari efek psikologis kepada timnya. Meski tak merasa takut secara langsung, ia mengaku ada keresahan yang dirasakan.

"Kita nggak menyebut itu sebagai ketakutan, hanya resah. Karena apa salahnya kita menyuarakan kebenaran?" jelasnya.

Sampai saat ini, Frederich belum berencana melaporkan kejadian tersebut karena menilai situasi belum terlalu serius. Namun, ia mengaku sempat menyampaikan peristiwa tersebut kepada pejabat kampus.

"Nanti mungkin akan ada konsolidasi sama teman LPM lain untuk laporkan hal ini ke rektorat. Kita juga mau meminta kejelasan mengenai perlindungan pers di kampus seperti apa," ujarnya.

Konfirmasi Kapendam IV/Diponegoro

Dimintai konfirmasi, Kapendam IV/Diponegoro, Letkol Inf Andy Soelistyo membantah adanya intervensi dari anggota TNI kepada anggota LPM di UIN Walisongo.

"Menurut kami tidak ada kaitannya dengan intervensi apa pun, karena memang tidak ada hal yang menyatakan itu terbukti atau nyata," kata Andy.

"Sehingga saya berharap tidak ada lagi opini atau pernyataan yang cenderung terus mengadu domba antara kita dengan mahasiswa," lanjutnya.

Jika ada bukti intervensi dari pihak TNI, ia mengatakan, mahasiswa bisa melaporkan ke pihaknya atau ke polisi militer untuk ditelusuri lebih lanjut.

"Mahasiswa merupakan partner. Jadi berkaitan intervensi tidak ada. Nggak pernah. Kalau ada bukti bisa dilaporkan ke kami atau ke polisi militer," jelasnya.

"Kalau ada buktinya silakan, tapi kalau tidak ada bukti yang nyata adanya. Tolong dari UIN tidak menyampaikan statement sepihak, kalau bisa duduk bersama ya mari," lanjutnya.




(rih/rih)


Hide Ads