Ratusan nelayan di sepanjang Sungai Juwana terpaksa menganggur usai sungai yang juga dikenal sebagai Sungai Silugonggo itu dalam kondisi kering. Nelayan menyebut keringnya Sungai Juwana ini jadi yang pertama dalam 71 tahun.
Pantauan detikJateng di bantaran Sungai Silugonggo, tepatnya Desa Banjarsari dan Mintobasuki, Kecamatan Gabus, sungai tampak begitu kering hingga bisa digunakan warga untuk duduk berkumpul. Hanya ada sedikit genangan air di tengah-tengah sungai.
Beberapa perahu nelayan pun tampak terparkir di sungai yang kering itu. Kondisi tersebut dinilai tidak pernah terjadi saat musim kemarau melanda. Akibatnya, ada 400 nelayan kecil yang tidak bisa bekerja mencari ikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu nelayan Mintobasuki, Lasno (71) mengatakan surutnya Sungai Silugonggo terjadi sejak dua pekan belakangan ini. Selama hidupnya, dia mengatakan sungai itu tidak pernah kering.
"Sudah dua pekan ini, kondisi kering baru kali ini. 71 tahun baru kali ini ada Sungai Silugonggo kehabisan air," kata Lasno ditemui di lokasi, Rabu (11/9/2024).
Menurutnya, tak hanya nelayan yang dirugikan dalam kondisi sungai yang surut itu. Petani pun juga merugi lantaran tidak adanya air.
"Ini seperti nelayan kecil ya dirugikan, petani dirugikan masalahnya tidak ada air," kata dia.
"Tahun kemarin bisa aktivitas, paling parah tahun ini," dia melanjutkan.
Ketua RT Desa Banjarsari, Kecamatan Gabus, Pardi, mengatakan kondisi surutnya air Sungai Silugonggo disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena musim kemarau dan kedua karena beroperasinya Bendung Karet yang ada di Sungai Silugonggo.
Menurutnya, Bendung Karet itu menyebabkan air laut tidak mengalir ke sungai saat musim kemarau. Sementara air di Sungai Silugonggo yang tersisa disedot warga untuk pertanian beberapa pekan ini.
"Kemungkinan kemarau, belum ada hujan atau mungkin Bendungan Karet itu," jelasnya ditemui di lokasi.
Pardi mengaku dirinya turut menganggur bersama warga lain karena tidak bisa mencari ikan. Dia pun hanya pasrah sambil menunggu kondisi Sungai Silugonggo kembali normal.
"Sementara dua minggu nganggur tidak bisa mencari ikan," ujarnya.
Padahal, kata dia, nelayan menggantungkan hidup dengan bekerja mencari ikan. Biasanya, mereka bisa mendapatkan penghasilan ratusan ribu dalam sehari.
"Harapan pihak nelayan kesejahteraan nelayan seperti kami diperhatikan entah itu caranya bagaimana terpenting nelayan tradisional diperhatikan seperti saya ini," ungkap dia.
Menanggapi fenomena itu, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pati Martinus mengatakan keringnya Sungai Silungggo karena batas basah tanah tidak dijaga saat musim kemarau. Apalagi, air di sungai yang tersisa disedot warga untuk lahan pertanian.
"Seperti ini sekarang petani supaya bisa tanam padi dan menaikkan air dari sungai disedot untuk pengairan, ini tidak disadari masyarakat ambang batas air basah ini tidak terjaga akhirnya tanah itu menjadi kering," ujarnya.
(aku/dil)