"Meskipun demikian, terhadap draft RUU Penyiaran versi Oktober 2023 Dewan Pers dan konstituen menolak sebagai draft yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional negara untuk mendapatkan informasi sebagai mana yang dijamin dalam UUD 45," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024), dikutip dari detikNews.
Menurut Ninik, aturan dalam draft RUU Penyiaran. Itu justru bisa menghambat kerja jurnalistik yang berkualitas.
"RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas. Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan pers yang tidak independen," ujar Ninik.
Dewan Pers juga menilai proses perancangan RUU Penyiaran menyalahi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Proses penyusunan ini sejatinya harus melibatkan masyarakat. Dalam hal ini Dewan Pers dan konstituen selaku penegak UU 40/1999 tidak terlibat saat DPR menyusun RUU tersebut.
"Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," jelas Ninik.
Soal Larangan Media Liputan Investigasi
Larangan media melakukan peliputan investigasi yang tertuang dalam RUU Penyiaran juga menjadi salah satu sorotan Dewan Pers.
"Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif. Ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU 40 Pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Penyiaran media investigatif itu adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional," ucap Ninik.
Soal Aturan Penyelesaian Sengketa Jurnalistik
Dewan Pers juga menyoroti salah satu poin dalam RUU Penyiaran yang mengatur soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Poin itu dinilai salah kaprah. Selama ini penyelesaian sengketa pers merupakan urusan Dewan Pers.
"Penyelesaian sengketa jurnalistik, di dalam RUU ini dituangkan, penyelesaian itu justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik, mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers, dan itu dituangkan dalam Undang-undang. Oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih," kata Ninik.
"Tapi kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran. Ini betul-betul akan menyebabkan cara-cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan norma undang-undang yang ada," sambung Ninik.
Minta DPR Setop Pembahasan RUU Penyiaran
Ninik menambahkan, jika RUU Penyiaran akhirnya disahkan, gelombang protes dari komunitas pers akan semakin besar. Maka itu Dewan Pers berharap DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU tersebut.
"Kalau dibuat singkat, seluruh komunitas pers menolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang sekarang disusun oleh Baleg DPR RI. Kalau diteruskan DPR akan berhadapan dengan komunitas pers," pungkas Ninik. (dil/aku)