Pahit manis kehidupan telah dialami pengusaha asal Solo, Sumartono Hadinoto. Pria keturunan Tionghoa itu sudah merasakan, bahkan telah melewati, tiga peristiwa yang disebutnya sebagai tragedi besar yang ada di Kota Solo.
Pengusaha dengan nama Tionghoa Khoe Liong Hauw lahir di Kota Solo pada 21 Maret 1956. Selama hidupnya, Kota Solo memberikannya banyak makna kehidupan. Hal itu yang membuatnya aktif di bidang sosial kemanusiaan hingga saat ini.
"Saya pernah mengalami tiga kali konflik, saat ada G30S PKI, kerusuhan tahun 1980, dan 1998 kemarin. Di situ saya sangat merasakan, mengapa Solo sangat nyaman dijadikan barometer politik, sumbu pendek, dan selalu dikondisikan seperti itu," kata Sumartono saat ditemui detikJateng di Gedung PMS, Rabu (3/4/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia melihat, dari kerusuhan yang terjadi, banyak warga Solo yang tak menginginkan situasi seperti itu. Dari keresahan itu, Sumartono tergerak untuk aktif di bidang sosial.
Dia kemudian aktif di berbagai organisasi sosial, yang diawali dari Orari (Organisasi Amatir Radio Indonesia) saat ia masih duduk di bangku SMA. Hal itu ia lakukan untuk mengampanyekan toleransi, dan membantu sesama. Meski ia pernah merasakan kejamnya kerusuhan 1998.
"Waktu Mei 98 kerusuhan itu, saya merasa tidak sebagai manusia. Melihat korban, tidak semuanya Tionghoa. Waktu saya masih berusia 42 tahun, saya berada di rumah saya di Jebres. Saya dibantu tetangga saya keluar rumah yang menjebol atap," jelasnya.
Meski pernah menjadi korban, Sumartono tetap kukuh bergerak di bidang sosial kemanusiaan. Hingga kini, Martono mengampu lebih dari 10 organisasi sosial. Antara lain PMI, Orari, Perkumpulan Masyarakat Surakarta (organisasi etnis Tionghoa), Dewan Harian Cabang 45 (organisasi veteran), Lions Club, panti asuhan, dan panti wreda.
"Saya banyak belajar, saya sering ketemu orang. Kalau kita mempunyai manset yang tertanam jelek, itu selamanya akan jelek terus. Kita tidak boleh menjelaskan kepada anak kita kejelekan orang. Orang-orang yang rasialis, perlu kita berikan empati, karena dengan kekurangannya mungkin pernah mengalami seperti itu," jelasnya.
Selain bergerak di bidang kemanusiaan, Sekretaris PMI Solo itu juga turut andil mem-branding Solo menjadi kota toleransi. Hal itu disimbolkan dengan festival di Depan Balai Kota Solo saat momen hari raya.
Dalam festival itu, tak hanya identik dengan perayaan Imlek. Namun juga Idul Fitri, Natal, dan sebagainya. Festival tahunan itu, lanjut Martono, tak lepas dari Imlek yang ditetapkan sebagai hari raya nasional saat zaman reformasi.
"Dulunya itu event budaya, tapi bagi kaum Konghucu itu hari raya. Lalu saat pandemi COVID-19, saya minta izin Mas Wali (Gibran Rakabuming Raka), kenapa hanya Imlek, mengapa tidak semua hari raya agama di Indonesia. Mas Wali lalu setuju," jelasnya.
Ia menuturkan, proses mem-branding Solo sebagai kota toleransi tidak mudah. Ia juga berusaha menghilangkan stigma Solo sumbu pendek. Perjuangan yang lama itu kini telah membuahkan hasil, dengan kemudahan berbagai event budaya dan agama di Kota Solo.
Menjadi salah satu aktor penting sosial kemanusiaan di Kota Solo, Sumartono pun telah mendapatkan berbagai penghargaan, baik tingkat lokal hingga internasional. Terakhir, ia meraih Global Business & Interfaith Peace Symposium and Awards oleh organisasi internasional Religious Freedom & Business Foundation yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Maret 2018 lalu.
"Kalau kita mau bergerak bersama-sama, pasti bisa. Dan menjaga ini tentunya lebih sulit. Padahal Solo masuk kota toleransi, nyaman disinggahi. Kami terus mengajak wong Solo maupun pendatang untuk menjaga Solo," pungkasnya.
(apu/apu)