Meski sudah berusia 93 tahun, seorang veteran bernama Sanjoto masih fasih menceritakan pengalamannya dalam setiap babak yang dia alami saat menjadi Tentara Nasional Indonesia. Lahir di Solo, dia memutuskan menjadi pejuang di usia muda karena resah dengan penjajahan Jepang.
"Awalnya tahun 1942 saya masih umur 12 kalau tidak salah, saya masuk organisasi kepemudaan Solo," kata Sanjoto saat mengawali cerita di rumahnya, Peterongan, Semarang, Sabtu (7/10/2023).
Dia menyebut saat itu memang banyak pemuda seusianya yang berniat menjadi pejuang. Biasanya, para pemuda berdiskusi membicarakan situasi terkini.
Sanjoto, ikut mulai berorganisasi saat Jepang mulai menjajah Indonesia. Di benaknya, Jepang justru lebih kejam daripada Belanda.
"Setelah Jepang mendapatkan kuasa dari Belanda untuk melanjutkan penjajahannya, kita sudah tahu Jepang itu lebih kejam maka saya masuk organisasi kepemudaan," lanjutnya.
Lalu, dia merasakan suasana mulai berubah di tahun 1945. Tiba-tiba, sebagian besar pasukan Jepang seperti menghilang dari tanah kelahirannya.
Belakangan diketahui terjadi peristiwa pengeboman di dua kota Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Meski tak ingat kapan waktu pastinya, Sanjoto ingat dia dan rekan-rekannya nekat melucuti persenjataan pasukan Jepang setelah Indonesia merdeka.
"Setelah kota Jepang, Nagasaki sama Hiroshima dibom atom, Jepang seperti ditelan bumi. Nah kita memberanikan diri untuk menyerbu markas Jepang bersama-sama PETA sama Heiho," ujarnya.
Karena itu, di umur yang belum genap 17 tahun, Sanjoto sudah menenteng senjata dan dianggap sebagai pejuang. Dia akhirnya juga masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.
"Karena saya melucuti senjata Jepang saya dianggap ikut berjuang, tapi tidak semua teman sebaya saya diangkat jadi TNI, setelah diseleksi dilalah saya itu katut jadi TNI," katanya.
Ikut Perang Gerilya di Solo
Sanjoto masuk ke Polisi Tentara yang nantinya akan menjadi Corps Polisi Militer (CPM). Hingga 1950, Sanjoto masih berdinas di Solo.
Karena itu, dia juga terlibat dalam perang gerilya saat Agresi Militer Belanda di tahun 1948. Sanjoto juga mendapat tugas penting untuk mengawal perjalanan Panglima Besar Jenderal Soedirman dari Solo menuju Jogja.
"Panglima Besar Jenderal Soedirman pemimpin gerilya, dia itu waktu itu di sekitar kita, di Solo. Dulu akan ke Jogja memenuhi panggilan Presiden yang waktu itu di Jogjakarta saya yang mengawal Panglima Soedirman," imbuhnya.
Selengkapnya di halaman sellanjutnya
(rih/ahr)