Halal bihalal adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan saling berkunjung untuk memohon dan memberikan maaf satu sama lain. Kegiatan ini menjadi salah satu tradisi rutin yang dilakukan umat Islam ketika hari raya Idul Fitri.
Pada umumnya umat Islam akan mengunjungi sanak saudara, teman, dan kerabatnya yang lebih tua darinya untuk memohon maaf di hari raya Idul Fitri. Lantas seperti apa makna dan sejarah halal bihalal di Indonesia? Berikut ini penjelasan makna dan sejarah halal bi halal.
Makna Halal Bihalal
Terdapat sejumlah aspek yang dapat digunakan untuk memahami makna dari halal bihalal. Sebagaimana penjelasan Prof Quraish Shihab dalam buku 'Membumikan Al-Quran', dikutip detikJateng dari laman resmi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Rabu (26/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Aspek hukum fikih
Kata halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal maka dapat diartikan sebagai terbebasnya dosa. Sehingga dalam hukum fikih menjadikan sikap yang sebelumnya haram atau berdosa menjadi tidak berdosa atau halal apabila persyaratannya dapat terpenuhi, yakni secara lapang dada saling memaafkan satu sama lain.
2. Aspek bahasa atau linguistik
Istilah halal bermula dari kata halla atau halala yang memiliki bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain menyelesaikan masalah, kesulitan, problem, atau mencairkan dan melepaskan ikatan yang telah membelenggu.
Walhasil, apabila memahami kata halal bihalal berdasarkan tinjauan kebahasaan, maka kita akan memahami bahwa tujuan menyambung apa-apa yang telah terputus menjadi terintegrasi kembali.
Hal tersebut dapat terwujud apabila para pelaku menjadikan halal bihalal sebagai cara untuk kembali menjalin silaturahmi guna saling memaafkan, sehingga akan menemukan hakikat Idul Fitri.
3. Aspek Al-Quran
Halal yang harus diwujudkan adalah halal yang baik atau tayyib, sehingga dapat menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Quran menuntut manusia untuk senantiasa melakukan aktivitas yang bermanfaat, baik, dan juga harus mampu untuk menyenangkan orang lain. Ini lah salah satu penyebab mengapa Al-Quran tidak sebatas memerintahkan untuk saling memaafkan, namun juga harus berbuat baik kepada orang yang telah berbuat kesalahan kepada kita.
Sejarah Halal Bihalal
Dikutip dari laman resmi Kemenag Sumsel, tradisi halal bihalal dapat dikatakan sebagai salah satu hasil buatan masyarakat Indonesia. Sehingga tradisi halal bihalal menjadi ikon umat Islam di Indonesia atau dalam bahasa Prof Quraish Shihab adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Karena tradisi ini tidak ada di tanah Arab, baik di Mekkah maupun Madinah.
Tradisi halal bihalal konon pertama kali dirintis oleh Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I pada 8 April 1725. Kala itu Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan dengan para raja, punggawa, hingga prajurit di balai istana. Pertemuan itu bertujuan untuk saling memberikan penghormatan dan permohonan maaf dengan cara bersungkem. Hal itu dilakukan untuk menghemat waktu, tenaga, biaya, dan pikiran.
Dalam versi lain yang dikutip detikJateng dari NU Online menyebut istilah halal bihalal pertama kali diutarakan oleh KH Wahab Chasbullah. Pada tahun 1948 di era revolusi di bulan Ramadhan terjadi pergolakan politik di Indonesia. Kala itu Presiden Sukarno meminta saran dan nasihat kepada KH Wahab Chasbullah perihal kondisi yang tengah terjadi.
Kemudian, KH Wahab memberikan saran untuk mengadakan silaturahmi dengan istilah halal bihalal untuk meredam tensi politik yang tengah memanas kala itu agar dapat bersatu kembali. Dari saran KH Wahab tersebut Sukarno lantas mengundang semua tokoh politik ke Istana Negara pada hari raya Idul Fitri.
Akhirnya para tokoh politik dapat duduk bersama di meja untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Semenjak itulah istilah halal bihalal gagasan KH Wahab menjadi tradisi yang melekat di masyarakat Indonesia ketika hari raya Idul Fitri.
Demikian penjelasan mengenai makna dan sejarah halal bihalal. Semoga bermanfaat ya, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Noris Roby Setiyawan peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(dil/sip)