Halal bihalal menjadi tradisi khas yang tak terpisahkan dan selalu mewarnai momen Idul Fitri di Indonesia. Tradisi ini identik dengan silaturahmi, saling memaafkan, dan bersalam-salaman antar keluarga, tetangga, maupun kerabat.
Setiap kali Lebaran tiba, muslim tanah air ramai-ramai menggelar acara silaturahmi ini untuk saling memaafkan. Seiring waktu, halal bihalal berkembang menjadi ajang open house, di mana seseorang atau instansi membuka pintu bagi tamu yang ingin bersilaturahmi.
Namun, tahukah bahwa tradisi halal bihalal sebenarnya hanya ditemukan di Indonesia, dan tidak ada di negara-negara Timur Tengah? Lalu, dari mana asal-usul halal bihalal, dan apa makna di balik istilah tersebut?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Tradisi Halal Bihalal di Indonesia
Dirangkum dari laman Kemenag, tradisi halal bihalal merupakan salah satu kekhasan umat Islam di Indonesia yang tidak ditemukan di tanah suci, Mekkah dan Madinah. Karena itu, banyak ahli menyebut halal bihalal adalah "made in Indonesia".
Atau dalam istilah Prof Dr Quraish Shihab, merupakan hasil pribumisasi ajaran Islam yang disesuaikan dengan nilai-nilai budaya lokal di Asia Tenggara. Salah satu cerita menyebut, tradisi ini berawal dari masa pemerintahan Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa, yang lahir pada 8 April 1725.
Untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya, ia menyelenggarakan pertemuan antara raja, para punggawa, serta prajurit secara serentak di balai istana usai salat Idul Fitri. Dalam budaya Jawa, tindakan sungkem atau bersimpuh di hadapan orang yang lebih tua adalah bentuk penghormatan dan permohonan maaf.
Versi lain menyebut tradisi ini mulai populer pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, tepatnya saat bulan Ramadan tahun 1946. Kala itu, situasi politik dan keamanan bangsa sangat genting karena Belanda kembali datang.
Sejumlah tokoh mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk memanfaatkan momentum Idul Fitri sebagai ajang mempererat persatuan. Mereka menyarankan agar digelar pertemuan yang menghadirkan berbagai elemen bangsa, dengan tujuan saling memaafkan dan memperkuat rasa kebangsaan.
Presiden Soekarno menyambut baik gagasan itu dan menyelenggarakan acara yang kemudian dikenal sebagai halal bihalal. Kegiatan tersebut menjadi ajang silaturahmi nasional dan sejak saat itu, tradisi ini terus berkembang serta dilestarikan masyarakat Indonesia.
Kini, halal bihalal tidak hanya menjadi sarana mempererat hubungan keluarga, tetangga, dan rekan kerja, tetapi memperkuat semangat kebersamaan antar umat beragama. Halal bihalal juga menjadi sarana saling memaafkan.
Makna Halal Bihalal
Dalam bukunya Membumikan Al-Qur'an (1999), Prof Dr Quraish Shihab mengupas makna mendalam dari istilah halal bihalal melalui tiga pendekatan, yaitu hukum fikih, linguistik, dan perspektif Qur'ani. Berikut makna halal bihalal dalam pandangan Quraish Shihab, seperti dirangkum dari laman UIN Sunan Gunung Djati.
1. Tinjauan Hukum Fikih
Dalam hukum Islam, istilah "halal" umumnya dipahami sebagai lawan dari "haram". Maka, ketika kata ini digunakan dalam konteks halal bihalal, menyiratkan pesan spiritual bahwa yang melakukannya bisa terbebas dari dosa. Dengan syarat, proses saling memaafkan dilakukan secara tulus dan memenuhi ketentuan syariat.
Namun, para ahli fikih juga memasukkan kategori "makruh" dalam lingkup pembahasan halal. Makruh adalah perbuatan yang tidak dianjurkan dalam Islam, namun tidak berdosa jika dilakukan, dan justru berpahala jika ditinggalkan. Lantas, apakah dalam halal bihalal ada unsur yang sebenarnya makruh, namun menjadi halal karena tujuan baiknya?
Meski demikian, Quraish Shihab menilai pemaknaan halal bihalal sebaiknya tidak dibatasi dalam kerangka hukum fikih semata. Alasannya, pendekatan hukum cenderung normatif dan tidak sepenuhnya mampu menggambarkan nilai-nilai luhur seperti keharmonisan dan kasih sayang antar sesama.
2. Tinjauan Bahasa (Linguistik)
Secara etimologis, "halal" berasal dari kata halla atau halala, yang memiliki makna membebaskan, melepaskan, mencairkan, atau meluruskan sesuatu yang kusut. Dalam hal ini, halal bihalal dimaknai sebagai proses meluruskan kembali hubungan yang renggang, mencairkan kekakuan dalam pergaulan, serta melepaskan konflik atau kesalahpahaman.
Melalui sudut pandang kebahasaan ini, halal bihalal menjadi jembatan untuk menyambung tali silaturahmi yang sempat terputus. Halal bihalal menjadi momen penuh makna, di mana seseorang benar-benar menghayati semangat Idul Fitri, yaitu kembali ke fitrah, suci lahir dan batin.
3. Tinjauan Qur'ani
Dalam Al-Qur'an, halal tidak cukup hanya "boleh" secara hukum, tapi harus juga thayyib, yakni baik dan menyenangkan. Ini mencerminkan setiap tindakan muslim semestinya membawa kebaikan dan kebahagiaan, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.
Oleh karena itu, Al-Qur'an tidak hanya mengajarkan agar seseorang memaafkan kesalahan orang lain, tetapi mendorong untuk membalas dengan kebaikan. Dalam konteks halal bihalal, ini berarti seseorang tidak sekadar memaafkan secara formal, tetapi berusaha memperbaiki hubungan dengan penuh kasih dan ketulusan.
(hil/irb)