Rencana Pemerintah Indonesia menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan biosolar menjadi isu yang ramai diperbincangkan publik akhir-akhir ini. Adapun penyesuaian harga ini dilakukan guna mengatasi subsidi yang membebani keuangan negara, akibat fluktuasi harga minyak dunia.
Dalam hal ini, pemerintah menyiapkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM dan listrik hingga Rp 502 triliun dan diperkirakan naik mencapai Rp 698 triliun. Hal ini sebagai imbas melonjaknya harga energi dan pangan, yang dipicu perang Rusia - Ukraina.
Merespons hal tersebut, Direktur Eksekutif Moya Institute Heri Sucipto mengatakan langkah penyesuaian harga BBM bersubsidi memang tidak terelakkan, seperti yang terjadi di masa lalu. Untuk itu, ia mengimbau pemerintah untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun penting dicari formula yang tepat agar kehidupan sosial-ekonomi masyarakat tidak terlalu terdampak" ucap Heri dalam keterangan tertulis, Jumat (2/9/2022).
Hal ini ia sampaikan dalam webinar Moya Institute bertema 'APBN Tertekan: Subsidi BBM Solusi atau Solusi'.
Sementara itu, pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai penyesuaian harga BBM memang tidak dapat dihindari. Menurutnya, kebijakan ini dilakukan guna menghindari dampak negatif lebih besar. Hal ini termasuk krisis dan bangkrutnya APBN, seperti dalam kasus Pemerintah AS, yang berkali-kali 'lockdown' akibat likuiditas keuangan yang terganggu.
Lebih lanjut, Azyumardi menyebutkan upaya pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dapat diterapkan, namun tentunya perlu dilakukan bertahap agar masyarakat tidak terkejut dan panik.
Selain itu, kebijakan penyesuaian harga BBM sebaiknya juga melibatkan banyak pihak, misalnya kelompok masyarakat sipil karena ini merupakan kepentingan bersama.
"Saya usulkan kenaikannya jangan sekaligus agar tidak terasa. Kalau naiknya langsung banyak nanti masyarakat yang terkejut," ujarnya.
Di sisi lain, pengamat ekonomi senior UGM yang juga merupakan Mantan Ka Wantimpres. Sri Adiningsih menuturkan pentingnya untuk menjaga APBN agar tidak mengalami defisit. Pasalnya, APBN berfungsi bukan hanya untuk subsidi BBM, tetapi untuk memitigasi dampak pandemi COVID-19 dan memulihkan perekonomian nasional.
Oleh sebab itu, Sri menilai keinginan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM tentu didasarkan banyak pertimbangan. Kebijakan ini, katanya, bukan sekadar menjaga stabilitas APBN, melainkan juga memacu kesejahteraan masyarakat dan kesiapan dukungan anggaran bagi penyelesaian masalah lainnya.
Selanjutnya, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Marsudi Syuhud menyebut penyesuaian harga BBM memiliki dua aspek, yakni untuk kebaikan publik dan negara.
Ia pun menambahkan sasaran dari penyesuaian harga BBM menjadi kemaslahatan dan kebaikan bagi rakyat, terutama yang paling membutuhkan. Dengan demikian, penggunaan BBM bersubsidi yang tak tepat sasaran dapat dihindari.
"Ini sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu mengutamakan kemaslahatan rakyat banyak", kata Marsudi.
Sementara itu, pengamat isu-isu strategis Imron Cotan menekankan fakta soal pemerintah yang telah menggelontorkan ratusan triliun rupiah untuk penanganan pandemi agar dapat mengatasi dampak krisis kesehatan dan ekonomi.
Adapun saat ini hasil penanganan pandemi sudah mulai dapat dirasakan masyarakat. Sayangnya, kini masyarakat di dunia, termasuk Indonesia harus berhadapan dengan krisi energi dan pangan global yang terjadi lantaran perang Rusia - Ukraina.
"Kedua negara itu merupakan sumber ekspor gas dan minyak, termasuk pupuk ke Eropa yang menjadi salah-satu mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Ketimpangan di Eropa tentu dirasakan bagian dunia lainnya," ujar Imron.
Terkait persoalan ini, Imron berharap penerapan bantalan sosial mulai dari bantuan langsung, subsidi upah hingga subsidi transportasi bagi masyarakat bawah dan kaum pekerja dapat membantu menangani krisis saat ini.
(ega/ega)