Siapa Sangka! Desa Terpencil di Pegunungan Ini Pernah Jadi Ibu Kota Jateng

Rinto Heksantoro - detikJateng
Sabtu, 06 Agu 2022 13:17 WIB
Kantor pemerintahan Jawa Tengah dan dapur umum yang kini menjadi rumah warga, (Foto: Rinto Heksantoro/detikJateng).
Purworejo -

Mungkin belum banyak yang tahu jika dahulu kala, Ibu Kota Jawa Tengah pernah dipindahkan ke Kabupaten Purworejo. Tepatnya di Desa Giyombong, Kecamatan Bruno. Lalu seperti apakah suasana bekas pusat pemerintahan Jawa Tengah itu saat ini?

Desa Giyombong sendiri terletak sekitar 45 kilometer ke arah barat laut dari Alun-alun Kota Purworejo. Meski berkelok-kelok, jalan utama menuju kantor Kecamatan Bruno sudah halus dan bisa dilalui kendaraan roda empat.

Namun, selepas dari kantor kecamatan menuju arah Desa Giyombong, jalan akan semakin mengecil dengan jalur naik turun. Bahkan sekitar 10 kilometer sebelum tiba di lokasi bekas pusat pemerintahan Jawa Tengah, kita harus melewati jalur setapak dengan tanjakan dan turunan ekstrem.

Tokoh masyarakat Desa Giyombong, Supri Yogi Santoso (55) menuturkan jika Ibu Kota Jawa Tengah sempat berada di desa tersebut pada tahun 1948 selama kurang lebih 4 bulan. Pusat pemerintahan yang terletak di perbukitan itu memiliki kantor pemerintahan, rumah gubernur, dapur umum, lapangan dan tempat olahraga.

Namun, semua bangunan tersebut sekarang sudah tidak ada yang tersisa lagi karena sudah ambruk dan sebagian telah digantikan dengan rumah-rumah warga. Bahkan, rumah dinas gubernur yang waktu itu bernama Wongso Negoro kini telah menjadi pekarangan yang ditanami pohon ketela.

"Dahulu memang di sini di Dusun Mentasari, Desa Giyombong pernah menjadi pusat pemerintahan Jawa Tengah pada tahun 1948 selama 4 bulan, namun kami lupa dari bulan apa. Di sekitar sini ada bangunan kantor pemerintahan, rumah tinggal gubernur, dapur umum, lapangan dan tempat olahraga," kata Yogi saat ditemui detikJateng lokasi, Rabu (3/8).

Yogi menceritakan, peninggalan Gubernur Wongso Negoro yang masih tersisa hingga saat ini adalah brankas dari besi, sepasang bangku kayu panjang beserta meja. Peninggalan itu sekarang tersimpan di sebuah rumah kosong yang terletak di samping bekas rumah Gubernur Wongsonegoro.

"Dulu Pak Gubernur kan tinggal di rumah joglo milik almarhum Mbah Arso Pawiro, namun rumahnya sekarang sudah tidak ada. Nah barang-barang peninggalan Pak Gubernur sekarang disimpan di rumah anaknya Mbah Arso Pawiro, ini persis di samping rumah yang dulu," paparnya.

Peninggalan Gubernur Wongsonegoro, rumah keluarga alm Mbah Arso Pawiro, kebun bekas rumah tinggal Gubernur Wongsonegoro, Foto: Rinto Heksantoro/detikJateng

Ketika detikJateng mencoba masuk ke rumah kosong berukuran sekitar 5x7 meter itu, nampak meja kayu yang diapit oleh dua bangku panjang terpampang di ruang tamu. Di atas meja, ada sebuah brangkas dari besi yang sudah berkarat.

Debu tebal terlihat menutupi lantai ruang tamu, meja, bangku dan brangkas. Sekilas benda-benda peninggalan Gubernur Wongsonegoro itu memang nampak tak terurus. Namun, ada yang aneh dengan salah satu kaki meja dan pegangan bangku tersebut.

"Kalau kita lihat, salah satu kaki meja dan pegangan bangku terlihat bersih mengkilap seperti berminyak padahal tidak dikasih apa-apa. Mungkin dulunya karena Pak Gubernur paling seneng duduk di sudut sini, jadi lama-lama bekasnya mengkilap," ucapnya.

Peninggalan Gubernur Wongsonegoro, rumah keluarga alm Mbah Arso Pawiro, kebun bekas rumah tinggal Gubernur Wongsonegoro, Foto: Rinto Heksantoro/detikJateng

Lebih lanjut Yogi menjelaskan bahwa wilayah pemerintahan Jawa Tengah pada saat itu juga mencakup desa lain di sekitar Giyombong yakni Kemranggen dan Kambangan. Kala itu, Gubernur Wongsonegoro terpaksa menjalankan pemerintahan di tempat yang tersembunyi untuk menghindari kejaran dari tentara Belanda.

Kala itu Wongsonegoro memilih wilayah Bruno sebagai tempat persembunyian diduga karena meniru Pangeran Diponegoro yang sebelumnya sembunyi di daerah tersebut. Yogi menambahkan, jika Bruno sendiri memiliki arti 'diburu ora ono' atau dicari tidak ada. Itulah kenapa Wongsonegoro menilai Bruno sebagai tempat yang aman karena ketika musuh memburu dan mencari dirinya maka tidak akan pernah ketemu.

"Pak Gubernur juga sempat singgah di Desa Kambangan, sedangkan pusat militernya ada di Desa Kemranggen. Kenapa memilih Bruno ini untuk sembunyi ya karena Bruno itu kan artinya 'diburu ora ono' jadi meskipun diburu dan dicari, maka musuh tidak akan menemukan Pak Gubernur," jelasnya.

Baca Gubernur Wongsonegoro Dipanggil Pak Ageng di halaman berikutnya...

Saksikan juga video Sosok minggu ini: Ferra manajang, Berbagi Hidup Dengan Para Perempuan ODGJ






(apl/aku)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork