Pada Senin malam, 7 Mei 1951, di Istana Negara Jakarta diadakan peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Setelah dua mubalig berceramah, tiba giliran Presiden Sukarno memberikan wejangannya.
Dalam pidatonya, Presiden Sukarno mengingatkan agar Pancasila dijadikan dasar perjuangan menegakkan negara. Sebab, menurut presiden pertama tersebut, pada saat itu ada banyak golongan yang hanya memakai salah satu sila saja, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah sari pidato itu tersiar di media massa, ternyata ada sebagian umat Islam yang merasa tersindir. Hal itu diungkapkan oleh HAMKA atau Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam bukunya Urat Tunggang Pantjasila yang diterbitkan Pustaka 'Keluarga' Djakarta pada 1951.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan ada di antara kawan-kawan itu yang meminta supaya saya sudi memberikan uraian bagaimana sesungguhnya kita umat Islam memahamkan PANTJASILA ini," tulis HAMKA, sastrawan Indonesia yang juga dikenal sebagai ulama, filsuf, dan aktivis pergerakan politik itu.
Dalam bukunya yang tipis itu HAMKA menerangkan agar umat Islam tidak berburuk sangka. Menurut dia, pidato Presiden Sukarno saat menyebut 'dengan Ketuhanan Yang Maha Esa saja' itu bukan untuk menyindir kaum pergerakan Islam, para pemimpin umat Islam, maupun umat agama lain.
"Bung Karno sebagai seorang pemimpin pasti sudah tahu dasar-dasar dari satu ideologi dan filsafat dari ideologi itu. Dalam bibliotheek beliau penuhlah terletak buku-buku tentang Islam dan kupasan filsafatnya," tulis HAMKA yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sejak 9 November 2011.
Ketuhanan YME Menurut HAMKA
Menurut HAMKA, perjuangan umat Islam dalam berbagai segi kehidupan selalu berdasarkan pada tauhid, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa (YME). Ketuhanan YME menurut HAMKA adalah pengakuan akan adanya kekuasaan di atas seluruh kekuasaan manusia.
Ketuhanan Yang Maha Esa juga yang mengesakan atau menyatukan tujuan hidup dari seluruh alam ini, baik yang bernyawa atau yang tidak. "Ketuhanan Yang Maha Esa (itu) tiga perkara kepada satu. Yang tiga perkara itu ialah manusia, hidup manusia, dan alam. Kepada hanya satu Tuhan," tulis HAMKA.
Lantaran berjuang dengan Ketuhanan YME, Hamka menjelaskan, dengan sendirinya manusia akan mempunyai perikemanusiaan yang tinggi (sila kedua Pancasila) dan keadilan sosial (sila ketiga Pancasila).
"Bohong pengakuan seseorang bahwa dia mempercayai Ketuhanan Yang Maha Esa, kalau tidak diurusnya makan fakir miskin." (hlm 21-22).
Baca juga: Abu Bakar Ba'asyir Kini Menerima Pancasila |
(dil/mbr)