Tapi kita masih bisa mencinta, jangan menangis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akan lewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat
(Goenawan Mohamad)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaman akan terus berjalan, Silih berganti penghuninya berjalan sesuai proses alamiah dalam regenerasi. Semuanya harus kita maknai bahwa para pendahulu telah mempercayakan tugas-tugas kemanusiaan kepada generasi penerusnya. Demikianlah estafet itu akan tercatat dalam sejarah peradaban kita sebagai makhluk menyejarah.
Istana Mangkunegaran Solo telah memberikan teladan pergantian kepemimpinan, menyambut kepastian zaman. Tanpa banyak pergolakan berarti, menyadari bahwa aturan-aturan tradisi telah mengatur estafet tugas peradaban dalam bingkai regenerasi bisa dijalankan dengan mengedepankan kearifan.
Seorang pangeran muda berusia 24 tahun disokong bersama oleh para kerabatnya untuk menjadi pemimpin dinasti penjaga tradisi yang telah berusia lebih dari dua setengah abad. Pemuda dari Generasi Z dinobatkan sebagai KGPAA Mangkunegoro X, menggantikan ayahandanya yang mangkat beberapa bulan sebelumnya.
Menjadi penjaga budaya bukan tugas yang kalah mulia dibanding tugas-tugas lain dalam menjaga kepribadian dan masa depan bangsa. Bukankah sudah dipastikan dalam konstitusi kita bahwa rumusan pengertian tentang kebudayaan nasional kita adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Di sinilah pentingnya posisi pemimpin lembaga pusat budaya dan tradisi bangsa.
Kita telah sepakat untuk mendirikan sebuah negara bangsa yang terdiri dari ratusan suku bangsa dengan tetap menjaga kebinekaan secara harmoni. Di sinilah peran penjaga budaya; menjaga equilibrium di tengah gebalau kepentingan-kepentingan sesaat kelompok-kelompok tertentu yang kadang terlalu berani mempertaruhkan kebhinnekaan dan keharmonisan bangsa.
Budayawan kenamaan, Umar Kayam, pernah menyampaikan pemikiran yang masih menemukan konteksnya hingga saat ini dan tetap layak untuk kita renungkan;
Konsekuensi membangun suatu republik kesatuan dan modern memang jauh. Dan seringkali juga mahal bayarannya! Salah satu esensi negara-kebangsaan yang kesatuan dan modern adalah 'penyederhanaan' dan 'penyatuan'. Akan banyak kekhasan etnik kita hilang, akan banyak wajah tradisi musnah.
Pasti kita akan berusaha menyelamatkan yang dapat diselamatkan. Tetapi mencegah serat-serat tikar yang sudah mulai lapuk memang sulit! Yang akan lahir adalah suatu kebudayaan (dan kesusastraan) yang baru meskipun masih akan banyak mengandung unsur-unsur lama dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Dari sinilah kita harus menyadari bahwa tugas menjaga kebudayaan nasional harus tetap dilakukan sebagai masyarakat yang telah berabad-abad menjalani transformasi kreatif dalam mengawal perubahan zaman. Niscaya demikian karena tak pernah ada creation ex nihilo, kreativitas manusia tak pernah merupakan penciptaan dari nol.
Tak bisa tidak, karena manusia adalah makhluk menyejarah yang mensyaratkan untuk melakukan proses mengambil dan membuang. Prinsip menyejarah adalah selalu menyikapi masa lampau sebagai warisan, masa depan adalah kemungkinan, dan masa kini adalah kerja-kerja kreatif memperbaharui masa lampau untuk merealisasikan masa depannya.
Gus Dur, salah satu pemikir besar yang dimiliki bangsa ini, pernah menyampaikan bahwa kebudayaan adalah ruang kesepahaman nilai yang dengannya masyarakat akan terpandu dalam ruang toleransi. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah sesuatu yang hidup dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya; bukan tontonan, apalagi tuntunan yang melarang-larang bahwa orang tak boleh ini itu atas nama kebudayaan.
Akhirnya, selamat berbakti menjalankan amanah leluhur, Gusti Mangku yang baru. Kerja budaya di tangan oleh generasi muda, kami akan jauh lebih mengena menjawab kehendak zaman.
Mari tegak menyambut dan menghadapi keniscayaan perubahan dan tantangan zaman dengan kerja-kerja kreatif! Jangan menangis...
Solo, 13 Maret 2022
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mbr/sip)