Sore itu, langit di atas Pantai Legokjawa, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran, perlahan berwarna merah jambu. Angin laut berhembus lembut membawa aroma asin yang khas, sementara suara deburan ombak menjadi latar alami bagi momen yang tak biasa.
Di tepi pantai, seorang pria paruh baya bernama Ajam (56) tampak berjongkok di atas pasir. Dengan hati-hati, ia membuka wadah berisi ratusan anak penyu mungil-atau tukik-yang telah ia rawat hampir satu setengah bulan lamanya. Satu per satu tukik itu dilepaskannya menuju laut, mengikuti naluri alaminya mencari ombak pertama.
Anak-anak penyu itu merupakan jenis penyu hijau, satwa yang banyak hidup di perairan Pangandaran. Dalam aktivitasnya, Ajam tidak sendiri. Ia dibantu Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Camar Laut, yang juga memiliki misi sama: menjaga kelestarian penyu.
"Kami ingin agar penyu ini tetap lestari," ucap Ajam, Senin (10/11/2025).
Bagi Ajam, semua ini bermula dari laporan warga yang menemukan banyak telur penyu di pesisir Legokjawa. Ia khawatir jika tidak segera diamankan, telur-telur itu akan rusak, dimakan predator, atau bahkan diambil untuk dijual.
"Yang ditemukan sampai penetasan ternyata itu penyu hijau," katanya.
Dari laporan itulah Ajam berinisiatif melakukan pengamanan sederhana. Ia meminta warga yang menemukan telur untuk menyerahkannya agar bisa dikubur di tempat yang aman, tak jauh dari rumahnya. Setiap hari, ia memantau dan menjaga prosesnya.
"Setelah itu kami lepasliarkan," ujarnya.
Langkah kecil itu berangkat dari kepedulian, bukan karena proyek atau bantuan. Ajam tahu bahwa kesadaran masyarakat menjadi kunci bagi keberlanjutan satwa laut yang dilindungi ini.
"Awalnya, kami mendapat telur penyu hijau dari warga yang menemukannya di pantai. Lalu kami amankan dan kubur untuk pengeraman di lokasi yang tidak jauh dari rumah, agar mudah dipantau," katanya.
Selama sepekan terakhir, Ajam berhasil mengubur 80 telur penyu untuk pengeraman alami. Dari jumlah tersebut, 78 di antaranya berhasil menetas sempurna, sementara dua lainnya gagal.
"Itu hal yang wajar. Tingkat keberhasilannya sekitar 99 persen, termasuk tinggi," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa proses pengeraman berlangsung antara 45 sampai 60 hari. Tukik-tukik itu menetas pada Kamis, 6 November 2025, sekitar pukul 18.30 WIB, bertepatan dengan matahari tenggelam di ufuk barat. Saat ini, sebagian tukik masih berada di rumah Ajam untuk sementara, sebelum diserahkan kepada pihak konservasi resmi.
Ajam menegaskan bahwa seluruh proses tersebut dilakukan dengan koordinasi bersama pihak Konservasi Penyu dan dinas terkait, baik di tingkat daerah maupun provinsi. Ia menyebut, di kawasan Legokjawa masih sering ditemukan beberapa jenis penyu lain, seperti penyu hijau, penyu sisik, dan penyu lekang.
"Kami melakukan ini murni karena kepedulian dan kesadaran untuk menjaga hewan yang dilindungi. Kami tidak mengharapkan imbalan apa pun. Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?" ungkapnya.
Malam di Legokjawa pun menjadi saksi dari ratusan langkah kecil menuju laut. Warga yang kebetulan berada di sekitar pantai tak kalah antusias. Mereka berhenti sejenak, menatap tukik-tukik mungil itu berjuang menembus ombak pertama.
"Jadi usai Magrib itu kami biasa nongkrong di pantai bareng tetangga. Kemudian saat asyik nongkrong tiba-tiba ada beberapa anak penyu lucu-lucu," kata Hayat, warga setempat, sambil tersenyum.
Bagi warga Legokjawa, momen itu menjadi pengingat bahwa laut bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga tempat di mana harapan-harapan kecil lahir dan berenang menuju masa depan.
Di bawah langit senja, Ajam berdiri menatap laut yang perlahan menelan matahari. Ia tahu, dari pasir tempatnya berdiri, kehidupan baru tengah dimulai.
Simak Video "Video: Modal Nekat, Pokdarwis Tulungagung Jaga Kelestarian Penyu di Pantai Selatan"
(dir/dir)