Situs Megalitikum Gunung Padang di Cianjur tidak hanya menjadi destinasi wisata alam dan arsitektur masa lampau, tetapi kerap dijadikan tujuan wisata religi. Namun tidak sedikit yang memiliki niatan menyimpang, dimana kunjungannya diniatkan untuk mendapatkan keberkahan, kekayaan, hingga kejayaan berupa pangkat atau jabatan.
Bangunan prasejarah itu diduga dibangun dalam tiga masa berbeda, di mana struktur paling dasar dibangun pada 5.200 tahun sebelum masehi, struktur kedua dibangun pada 500 tahun sebelum masehi, dan struktur paling atas yang tampak dari permukaan diperkirakan dibangun pada tahun 500 Masehi.
Baca juga: Babak Baru Penelitian Situs Gunung Padang |
Masyarakat percaya jika di setiap masa tersebut, Situs Megalitikum Gunung Padang dijadikan tempat berkumpul para tokoh besar bahkan diduga dijadikan tempat singgahnya raja di masa lalu.
Apalagi, pada teras utama yakni teras kelima terdapat batu singgasana yang diduga merupakan tempat duduknya sosok besar setara raja pada masanya.
"Memang diyakini Gunung Padang ini jadi tempat berkumpulnya para raja atau tokoh besar pada masa lalu, apalagi ada singgasananya," ujar Polisi Khusus Cagar Budaya sekaligus Koordinator Juru Pelihara Gunung Padang Nanang Sukmana, Selasa (29/7/2025).
Menurut dia, hal itu yang membuat tidak sedikit orang yang datang dengan niatan yang menyimpang. Pengunjung datang untuk mengharapkan kejayaan, kekayaan, hingga karir.
"Mungkin karena ada singgasana, jadi dianggapnya dengan berdoa di Gunung Padang dapat memberikan kejayaan hingga kekayaan. Niatnya jadi menyimpang," kata Nanang.
Nanang menyebut, selama ini tidak ada pengunjung yang secara gamblang menyebutan niatnya, terlebih apabila melakukan kegiatan pemujaan yang mengarah pada kemusyrikan.
"Kalau ada yang datang untuk pemujaan dengan niat menyimpang tentu tidak kami izinkan, karena dikhawatirkan tempat sakral ini malah dijadikan tempat kemusyrikan. Selama ini belum ada yang secara langsung menyebut datang untuk pemujaan, biasanya untuk berkunjung saja di malam hari," jelas Nanang.
Menurutnya, niatan seseorang dikembalikan pada pribadinya masing-masing. Tetapi diharapkan para pengunjung datang untuk tadabur alam atau menikmati kemegahan bangunan serta pesona alam di Situs Gunung Padang.
"Kalau yang sekadar tadabur alam atau menenangkan Rohani banyak. Terutama di malam 14 bulan hijriah. Karena tanpa lampu pun puncak teras akan sangat terang oleh Cahaya bulan. Kami tentunya tak bisa melarang yang berkunjung, niatnya kembali ke diri masing-masing. Tapi kalau sudah mengarah ke kemusyrikan tentu kami tak izinkan," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mitos dalam Pandangan MUI Jabar
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat mengingatkan agar masyarakat bisa memilah dan menyikapi keberadaan mitos secara bijak, terutama yang berpotensi mengarah pada kemusyrikan.
"Memang kepercayaan-kepercayaan semacam mitos itu masih tumbuh ya di masyarakat itu, masih ada. Perkembangannya kalaupun tidak meningkat tapi tetap, itu sesuatu yang hidup dalam keyakinan masyarakat," ujar Sekretaris MUI Jawa Barat, Rafani Achyar saat diwawancarai belum lama ini.
Ia lal membedakan mitos menjadi dua jenis. Pertama, mitos yang bersifat negatif karena mengarah pada kemusyrikan. Satu lagi mitos yang dinilai positif karena mengandung nilai etika dan pelestarian lingkungan.
"Mitos itu kan menjurus kepada kemusyrikan. Kemusyrikan itu kan mempersekutukan Allah. Dalam pandangan Islam ini dosa besar," kata Rafani.
Ia mencontohkan praktik kepercayaan terhadap pohon keramat atau tempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan spiritual. Jika masyarakat mempercayai, Rafani menegaskan hal itu sudah mengarah pada kemusyrikan.
"Kalau mitosnya, umpamanya di suatu tempat ada pohon apa, kemudian orang datang ke situ, ziarah, minta ini itu kepada pohon, itu musyrik. Tapi kalau hanya cerita, tidak diyakini secara spiritual, itu tidak masalah," tegasnya.
Sebaliknya, ada juga mitos yang dinilai positif karena mengajarkan etika hidup, seperti mitos larangan buang air kecil sembarangan dan berbicara kasar ketika berada di suatu gunung.
"Kalau mitosnya seperti tidak boleh kencing sembarangan di gunung atau tidak boleh ngomong kasar, menurut saya itu positif. Karena pada dasarnya itu mengajarkan adab dan menjaga alam," tutur Rafani.