Romantika Perpustakaan Batu Api, Ruang Diskusi di Tengah Jatinangor

Romantika Perpustakaan Batu Api, Ruang Diskusi di Tengah Jatinangor

Asy Syifa Ramadhani Imam - detikJabar
Rabu, 09 Okt 2024 14:01 WIB
Perpustakaan Batu Api di Jatinangor.
Perpustakaan Batu Api di Jatinangor. (Foto: Asy Syifa Ramadhani Imam/detikJabar)
Sumedang -

Cahaya matahari menembus tumpukan buku dibalik jendela dari bangunan yang tampak tidak terlalu besar, namun mampu menyimpan ribuan koleksi buku, perpustakaan Batu Api.

Saat detikJabar mengunjungi perpustakaan ini, Selasa (8/10/2024), terdengar alunan musik dari sudut ruangan, seakan menyihir suasana menjadi lebih nyaman.

Tampak seorang pria sedang duduk di sudut ruangan, bergelut dengan laptopnya dikelilingi tumpukan buku. Namanya Anton Solihin, pria kelahiran 1968 ini merupakan pemilik perpustakaan Batu Api yang sudah berdiri sejak 1 April 1999.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Uniknya, sedari awal perpustakaan Batu Api tidak hanya menyimpan koleksi buku, tetapi juga audio (musik) dan video (film) dari seluruh dunia dengan berbagai genre, mulai dari jazz hingga dangdut.

Saat memasuki perpustakaan ini, pengunjung akan disambut tumpukan buku yang telah disampul rapi. Anton menceritakan kesalahpahaman yang kerap terjadi. Meski secara visual tempat ini penuh akan buku, ia justru memulai perjalanannya dengan ketertarikan akan musik.

ADVERTISEMENT

"Awal itu minatnya musik, rekaman kaset, piring hitam. Dulu kan suka nongkrong di Cihapit, buku belakangan aja. Bukunya harus kelihatan karena ini di tengah kampus, supaya keliatan interaktual," ujar Anton.

Dulu, perpustakaan ini rutin melakukan beragam kegiatan, seperti pemutaran film setiap minggu dari tahun 2001 hingga 2019. Selain itu, Anton juga mengadakan diskusi buku bersama organisasi kampus. Ia juga menghadirkan pembicara dari kalangan penulis hingga sejarawan.

Sayangnya, kegiatan tersebut terhenti setelah Covid-19 melanda dan belum dilanjutkan hingga saat ini. Ia menyampaikan, saat ini kegiatan serupa sudah banyak dilakukan.

Berlokasi di Jl Raya Jatinangor No 142 A, Cikeruh, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, kawasan pendidikan ini dihuni ribuan mahasiswa dengan jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya.

Perpustakaan Batu Api di Jatinangor.Perpustakaan Batu Api di Jatinangor. Foto: Asy Syifa Ramadhani Imam

Perpustakaan Batu Api turut merasakan dampak kehadiran mahasiswa, setidaknya selalu ada mahasiswa yang berkunjung, namun hanya sedikit mahasiswa yang datang hanya untuk membaca buku.

"Dari 100 paling 5% yang datang untuk baca, sisanya itu dulu untuk tugas kuliah. Nah kan sekarang tugas kuliah banyak pakai AI," kata Anton.

Pria yang hobi membuat kliping ini menggunakan kata 'warung' yang merujuk pada pustaka Batu Api ini. Bukan tanpa sebab, ia menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki latar belakang ilmu perpustakaan. Ia tidak memahami sama sekali teknis dari perpustakaan. Meski begitu, ia tetap menunjukkan keseriusannya dalam membangun perpustaakaan ini.

"Saya bukan anak jurusan perpustakaan, kategorisasi segala macem, saya tidak peduli. Sampai sekarang masih acak-acakan. Tapi kalau konten saya serius. Bahan yang sekiranya orang susah nyari, saya betulan simpen," ujarnya.

Anton juga sering berdiskusi dengan para pengunjung. Mulai dari membahas buku atau rekaman yang tersedia, hingga berkonsultasi terkait tugas kuliah.

Seperti yang disampaikan Salman (21), seorang mahasiswa yang sudah beberapa kali berkunjung ke perpustakaan Batu Api. Tidak hanya datang untuk membaca buku, ia juga mencari bacaan sebagai tuntutan tugas kuliah.

"Buku yang aku cari, terutama soal politik atau budaya lebih lengkap dibandingkan perpustakaan lain. Bang Anton juga bisa diajak diskusi, soal ketersediaan buku atau referensi topik yang sedang dibutuhkan," jelas Salman sambil menggenggam sebuah buku.

Hingga saat ini, tidak tahu pasti jumlah buku, rekaman video maupun audio yang ada di perpustakaan ini. Saat awal di bangun, sudah ada sekitar 4.500 buku. Sekarang, belasan ribu rekaman juga dikoleksi oleh Anton. Ia juga membagikan rekaman yang ada secara gratis.

Jika ingin menjadi anggota dari perpustakaan Batu Api, harus mendaftarkan diri dengan biaya Rp 20 ribu. Sementara itu, biaya sewa buku selama seminggu dibandrol Rp 5 ribu.

Gempuran digitalisasi justru menimbulkan pertanyaan dibenak Anton, mengapa situasinya tidak banyak berubah?

Ia menjelaskan kondisi saat masa orde baru, dimana semua hal diseragamkan, mulai dari tontonan hingga pemikiran. Saat itu, orang-orang berusaha untuk 'berbeda'. Sementara itu, di era digital yang penuh kebebasan, banyak yang memilih untuk tetap 'seragam'.

"Zaman Orde Baru kita semuanya dibuat seragam, tontonannya sampai apa yang dipikirkan seragam. Tapi kita berusaha untuk menjadi berbeda. Sekarang saya justru lihat, orang harusnya punya imajinasi tak terbatas, tapi banyak yang jadi seragam. Jadi kalau dibilang ada perubahan gara-gara digital, ternyata enggak juga," jelasnya.

Tidak lagi sekedar hobi, mengoleksi buku dan rekaman seakan menjadi jalan hidupnya. Perpustakaan ini tetap eksis di tengah digitalisasi dan meningkatnya harga buku dipasaran.

"Sudah tidak bisa disebut hobi saja karena sudah 25 tahun. Ternyata saya bisa hidup dari sini," ungkapnya sambil tersenyum tipis.




(tya/tey)


Hide Ads