Perjalanan Persib dalam kompetisi kali ini tidaklah mudah. Meskipun menghadapi berbagai tekanan, Persib kembali lolos ke babak final, meski dengan jalannya yang penuh ketegangan dan tekanan karena kala itu Bobotoh, sebutan pendukung Persib, berharap tim kesayangan mereka muncul sebagai juara kala itu.
Baca juga: Keributan di Derby Bandung gegara Handuk |
Keraguan sempat muncul karena setelah hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan PSM Makassar pada laga pembuka babak "6 Besar", Persib dibekap Persija Jakarta 2-3. Meski kemudian menang 2-1 dari PSIS Semarang, Persib kembali bermain imbang 0-0 dengan PSMS pada laga keempat.
Hasil sekali menang, dua imbang dan sekali kalah itu membuat posisi Adeng Hudaya dan kawan-kawan terjepit. Kala itu orang mengira, Persib bakal gagal ke grandfinal. Wajar saja, setelah serangkaian pertandingan yang berat, termasuk kekalahan dan hasil imbang, posisi Persib terjepit dan di ambang kegagalan.
Namun, sebuah keajaiban muncul saat Perseman memilih Persib sebagai lawan mereka di final setelah insiden kericuhan dalam pertandingan melawan Persija. Dalam pertandingan yang dipenuhi dengan harapan, Persib tampil gemilang dan mengalahkan Perseman dengan skor telak 6-0. Kemenangan ini sukses mendudukan posisi Persib untuk maju ke pertandingan puncak.
Dalam kilasan pertandingan, Pangeran Biru sukses menghajar Perseman 6-0 lewat sumbangan gol Bambang Sukowiyono menit ke-10, Suhendar (15 dan 51), Dede Rosadi (25), Iwan Sunarya (30), dan penalti terukur Djadjang Nurdjaman menit ke-72.
Dengan mengumpulkan nilai 6, plus selisih gol 10-4, Persib sebenarnya bisa tetap gagal bila pada hari berikutnya, Persija bisa mengalahkan PSIS lebih dari empat gol dan PSMS bisa menang lebih besar dari Persib saat menghadapi PSM. Tapi, nasib mujur berpihak ke Persib. Pada laga terakhirnya, Persija hanya menang 3-0 dari PSIS dan PSMS dibekap PSM 0-1.
Persib pun melenggang ke partai puncak pada Selasa 11 Maret 1986. Mereka kembali berhadapan dengan Perseman. Duet pelatih Persib Nandar Iskandar dan Max Timisela menurunkan formasi andalan 4-3-3.
Pemain matang diturunkan kala itu, Sobur (kiper), Adeng Hudaya, Robby Darwis, Suryamin, Ade Mulyono di lini belakang. Adjat Sudrajat, Bambang Sukowiyono, Iwan Sunarya untuk tengah. Lalu Suhendar, Dede Rosadi/Wawan Karnawan dan Djadjang Nurdjaman sebagai tim gedor di barisan depan.
Kegagalan di dua musim berturut-turut membuat para Bobotoh tegang, mereka ingin tim kesayangannnya bisa tembus sebagai juara. Ketegangan juga membayangi mereka yang tidak ingin Persib kembali pulang tanpa gelar.
Kala itu, Ateng Wahyudi sang ketua umum mengucap kalimat berbahasa Sunda 'nista, maja, utama' yang artinya kurang lebih 'sekali gagal, dua kali gagal, tiga kali harus berhasil'. Kalimat itu diucap sebagai simbol penyemangat tim pemain Persib di partai puncak itu.
Perseman juga tidak mau kalah, dengan menurunkan tim bintangnya sebut saja Adolf Kabo, Willem Mara, Yonas Sawor dan Eli Rumaropen.
Gegap gempita menggema saat menit ke-77, Djadjang Nurdjaman yang baru 'pulang kampung' dari Mercu Buana Medan berhasil mengoyak jala lawan, 1-0 untuk Persib dan berhak memboyong Piala Presiden ke Kota Bandung.
Baca juga: Kala SVD dan Kenji Jadi Mimpi Buruk Persija |
Setelah kemenangan yang megah itu, Stadion Utama Senayan menjadi saksi dari histeria dan kegembiraan puluhan ribu bobotoh yang merayakan kemenangan bersama para pemain dan ofisial Persib. Kesuksesan ini menjadi awal dari reputasi Persib sebagai salah satu kekuatan sepakbola nasional.
Keberhasilan ini juga sukses membawa kebanggaan bagi seluruh bobotoh dan juga menjadi tonggak sejarah bagi Persib. Dengan materi pemain yang hebat dan semangat juang yang tidak kenal lelah, Persib '86 menjadi legenda yang akan dikenang selamanya dalam dunia sepakbola Indonesia. (sya/orb)