Adeng Hudaya adalah salah satu legenda Persib Bandung. Di balik tinta emasnya selama berkarier di Persib, banyak kisah tak terjamah dari pria yang lahir di pelosok Kabupaten Garut ini.
Adeng Hudaya lahir pada 30 Juni 1957 di sebuah daerah bernama Cikajang, salah satu kecamatan di Kabupaten Garut, yang jika dilihat secara geografis berada di Garut bagian selatan.
Belum lama ini detikJabar berkesempatan berbincang dengan sosok yang pada tahun 2023 ini genap berumur 66 tahun tersebut. Perbincangan ini dilaksanakan di kawasan Pendopo Garut, saat Adeng bersama kolega bersilaturahmi dengan Bupati Garut Rudy Gunawan tempo hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat pertama kali berjumpa, Adeng dengan ramah langsung menyapa. "Sok jang, rek nanya naon. Persigar atau Persib (Mau tanya apa, Persigar atau Persib)," kata Adeng.
Mendengar pernyataannya itu, bukan Persigar atau Persib yang terbesit untuk ditanyakan kepada Adeng Hudaya, melainkan kisah di balik perjalanan karier sang legenda, hingga mampu meraih dua gelar juara bersama Persib.
Adeng kemudian berkisah. Perjalanannya di dunia si kulit bundar, diakuinya sudah dilakoni sejak masa kanak-kanak. Di kampung dengan kultur sepakbola yang gila, Adeng mengaku sudah jatuh hati pada sepakbola sejak kecil. Sosok sang kakak, Ade Heri, juga menjadi salah satu inspirasinya.
Tapi dulu, baginya sepakbola hanya sekadar hobi. Selepas mengenyam pendidikan setara SMA kini, Adeng kemudian diminta melanjutkan pendidikan ke IAIN atau sekarang bernama Universitas Islam Negeri (UIN) di Bandung. Bukan tanpa alasan, kedua orang tuanya menginginkan Adeng muda menjadi ustaz dengan bersekolah di sana.
"Dulu orang tua saya, harus saya jadi ustaz tadinya. Saya sekolah di sini di PGA (Pendidikan Guru Agama)," ungkapnya.
Mendengar amanat orang tua, Adeng hanya manut-manut saja. Tapi, ada satu hal yang mengganjal di hati, ketika Adeng berpikir melanjutkan pendidikan di UIN, Yakni, tidak adanya kehidupan sepak bola yang hidup di sana.
Diam-diam, Adeng kemudian memilih untuk berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang dianggap memiliki peluang yang besar untuk tetap bermain bola. "Jadi pemikiran saya dulu, sekolah jalan, sepak bola juga harus jalan," katanya.
Jurusan olahraga, kemudian dipilihnya. Setelah memilih UPI untuk kuliah, Adeng kemudian meneruskan hobinya dengan bergabung ke skuad POP. POP sendiri merupakan tim sepakbola muda yang ikut serta pada kompetisi internal Persib di Bandung.
Tak jauh dari momen tersebut, Adeng yang menyempatkan diri kembali ke Cikajang, di suatu momen pernah beruji coba dengan POR UNI, sebuah tim sepak bola muda, yang sedari dulu digandrungi di Bandung. Tak disangka, bakat Adeng yang kala itu membela tim kampungnya saat beruji coba dengan UNI, dilirik pelatih lawan.
"Ada Pak Marzukih, dulu beliau pelatih top UNI. Pak Marzukih kemudian meminta, itu adiknya si Ade, bawa main di UNI," ungkap Adeng.
Hal itu yang kemudian mengubah nasib Adeng. Pada tahun 1977, Adeng kemudian berkompetisi di kompetisi internal Persib bersama UNI. Dua tahun kemudian, Adeng dipercaya menjadi bagian skuad Maung Bandung. Sebuah mimpi yang bagi Adeng menjadi kenyataan.
Bahkan hanya itu, Adeng muda juga didaulat menjadi kapten Persib Bandung dari tahun 1979 hingga tahun 1992. Setelah itu, dirinya memutuskan mengundurkan diri dari Persib.
Selama lebih dari 10 tahun menjadi kapten Persib, Adeng melakoni beragam perjalanan. Di antaranya, memimpin pasukan kala Persib keok dua kali di partai final kompetisi Perserikatan di tahun 1983-1984 dan musim 1984-1985. Tapi yang paling dikenang dari Adeng Hudaya adalah ketika dia juga menjadi kapten saat Persib dua kali menjadi juara Perserikatan di tahun 1986 dan 1989.
"Jadi kapten itu dipilih sama pemain lain. Dari 30 pemain, saya pilih pemain lain. 29 pemain yang lain, malah pilih saya," ujar Adeng.
Adeng Hudaya, hingga saat ini mungkin bisa dikatakan sebagai kapten Persib yang paling sukses. Sebab, dengan torehan yang didapatnya, hanya Adeng Hudaya kapten yang bisa mempersembahkan dua gelar juara liga bagi tim berjuluk Pangeran Biru.
Maka tak heran jika namanya harum hingga kini. Meskipun kini sudah tidak bermain sepakbola, tapi pria muda yang urung menjadi ustaz ini selalu ada di hati Bobotoh, suporter Persib Bandung.
(orb/orb)