Kata Pakar Politik soal Artis Tumbangkan Petahana Pilkada 2024 di Jabar

Jawa Barat

Kenali Kandidat

Kata Pakar Politik soal Artis Tumbangkan Petahana Pilkada 2024 di Jabar

Wisma Putra - detikJabar
Minggu, 01 Des 2024 15:00 WIB
Artis yang maju di PIlkada 2024 di Jabar unggul di quick count.
Artis yang maju di PIlkada 2024 di Jabar unggul di quick count. Foto: Istimewa
Bandung -

Meski belum ditetapkan KPU, sejumlah artis yang menjadi calon kepala daerah bupati dan wali kota di Jawa Barat unggul berdasarkan perhitungan sementara quick count (QC). Mereka berhasil menumbangkan dominasi partai besar dan petahana di daerahnya.

Pakar Politik dari Universitas Islam Bandung (Unisba) Muhammad E Fuady mengatakan, menang dan kalah dalam pilkada itu sebenarnya lumrah. Namun tatkala kontestasi itu melibatkan sosok artis, selebritis dan pesohor. Maka publisitas kemenangan dan kekalahannya mendapat atensi lebih besar dari publik.

"Para artis mengikuti pilkada karena percaya diri, mereka memiliki modal popularitas, pengalaman menghadapi publik, perhatian media, dan biasanya memiliki kecukupan logistik," kata Fuady dalam kepada detikJabar, Minggu (1/12/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fuad menyebutkan, ada beberapa variabel yang berperan atas kemenangan artis di berbagai daerah. Seperti di Indramayu, artis Lucky Hakim unggul dari petahana Nina Agustina. Berdasarkan hasil QC Indramayu, Bambang Hermanto-Kasan Basari 7%, Lucky Hakim-Syaefudin 68% dan Nina Agustina-Tobroni 25%.

"Di Indramayu, Lucky Hakim tidak sekadar populer, tapi juga memiliki koneksi emosional dengan para pemilih di sana. Isu pengunduran diri sebagai wabup menjadi isu besar. Jarang pejabat yang mau berhenti dengan alasan tak mau makan gaji buta. Citranya positif, dan para pemilih memiliki koneksi emosional dengan Lucky Hakim melalui berbagai isu. Lucky Hakim ini rajin berkomunikasi dengan para pemilih," ungkap Fuady.

ADVERTISEMENT

Selain itu, kejadian viral yang dilakukan Nina Agustina menjadi boomerang sehingga popularitas Lucky semakin naik. "Variabel lainnya adalah tindakan petahana di Indramayu kepada warga yang sempat viral di media sosial juga membuat publik luas menjadi resisten. Warga terintimidasi dengan tuduhan menghalangi kampanye dan ancaman penangkapan oleh Nina Agustina. Pernyataan dirinya masih kerabat seorang tokoh juga dinilai sebagai superioritas. Konten media sosial, meski hanya satu menit dan viral, dapat menjadi rujukan masyarakat dalam memilih kepala daerah," jelas Fuad.

Tak hanya di Pilkada Indramayu, di Pilkada Kota Bandung, pasangan Muhammad Farhan dan Erwin berhasil menumbangkan calon yang diusung partai yang mendominasi di Kota Bandung. Suara Farhan-Erwin lebih unggul dibandingkan calon yang diusung PKS-Gerindra yakni Haru Suandharu dan Dhani Wiriadinata.

"Sementara, Farhan dapat memenangkan Pilkada di Kota Bandung karena ia piawai dalam berkomunikasi dengan publik. Dia adalah sosok paling populer dibandingkan kandidat lain, pandai memanfaatkan instrumen komunikasi dalam kampanye. Misal dalam debat saja ia tampil dengan atribut yang ikonik, kostum hansip dan filosofinya. Ia paling fasih menyampaikan program untuk membangun Bandung," tuturnya.

"Kemudian, ia juga menawarkan berbagai program yang berpihak pada pedagang kaki lima dan UMKM. Target penuntasan kemacetannya pun cukup realistis. Para pemilih rasional menangkap gagasan itu. Koneksi emosional Farhan dan pemilih di Kota Bandung juga dibangun melalui isu Persib. Dalam dua bulan terakhir, konten Farhan bicara tentang Persib di podcast massif di-publish di media sosial," tambahnya.

Selain itu, kita mengamati debat Pilwalkot, bahkan pihak yang mengambil peran paslon yang religius pun Farhan-Erwin. Calon wakil walikota dari Farhan inilah yang fasih menyampaikan dalil-dalil dalam debat. "Itu menguatkan pilihan publik Bandung yang relatif agamis. Citra religius Farhan-Erwin menjadi lebih kental dibanding Haru-Dhani yang diusung PKS-Gerindra," tuturnya.

Mesin partai bekerja untuk kemenangan Farhan, namun tampaknya faktor sosiabilitas Farhan lebih tinggi, peran dia di masyarakat. Farhan pernah berperan dalam persepakbolaan di Bandung, aktif di manajemen Persib, jadi satu-satunya kandidat yang identik dengan tim kesayangan bobotoh hanya Farhan.

Menurut Fuad, kekalahan paslon yang diusung PKS, tampaknya memiliki keterkaitan dengan 'Anies Effect'. Loyalitas para pemilih memudar pasca-PKS meninggalkan Anies sebagai kandidat Gubernur DKI. "Isunya memang di Jakarta, tapi meluas hingga ke daerah. Pemilih di Bandung mengambil sikap yang berhadapan dengan PKS. Standar pemilih pada PKS ini cukup ketat, jadi saat frekuensi kepentingan partai dengan pemilih berbeda, mereka tak segan meninggalkannya," tuturnya.

Lain dengan Lucky dan Farhan, Fuad menilai untuk Pilkada Bandung Barat di mana petahana ditumbangkan oleh sosok baru, bahkan dinilai masih hijau terjun ke dunia politik.

"Mengenai Jeje Govinda, ini tampaknya ada anomali. Bila Lucky Hakim dan Farhan sudah terjun ke politik jauh sebelum pilkada 2024, Jeje adalah newcomers. Masih hijau dalam politik, belum berpengalaman, dibanding kompetitor seperti Hengky Kurniawan dan Gilang Dirga, tampaknya masih kalah mentereng. Hengky adalah petahana dan populer di Kabupaten Bandung Barat. Gilang Dirga sebagai artis juga sering tampil di berbagai stasiun TV. Sementara Jeje lebih dikenal sebagai keluarga Raffi Ahmad. Dalam debat pilbup, Hengky lebih komunikatif, fasih, dan menguasai persoalan dibanding Jeje Govinda," tuturnya.

Fuad menilai, tingginya suara Jeje pada pilkada ini tak lepas dari support Raffi Ahmad, baik partisipasinya dalam kampanye, juga logistik. Raffi Ahmad ini sosok populer yang menjadi magnet di banyak lapisan pemilih, terutama Gen Z dan milenial. "Logistik membuat mesin politik Jeje-Asep leluasa untuk meraih pemilih. Model kampanye akbar Jeje, dengan menghadirkan artis papan atas di Kabupaten Bandung Barat, ternyata lebih disukai para pemilih di sana yang relatif pragmatis," terangnya.

Meski demikian, nasib berbeda dialami Gitalis yang dikenal sebagai pedangdut top dan Ronal Surapradja yang menelan kekalahan di Pilgub Jabar.

"Kekalahan artis seperti Gita dan Ronal sudah bisa diprediksi sedari awal. Popularitas mereka tidak berbanding lurus dengan elektabilitasnya. Gita dan Ronal tidak sedang dalam masa keemasannya sebagai pesohor. Dedi Mulyadi ini jauh lebih populer dari Gita dan Ronal, karena berinvestasi ingatan publik sejak 2017 melalui media sosial. Ia piawai berkomunikasi dengan pemilih Jabar lewat isu dan permasalahan rakyat di daerah yang diposting di kanal Dedi Mulyadi. Citra keberpihakan Dedi pada masyarakat sudah kokoh. Jadi Gita dan Ronal tak bisa berbuat banyak jika dihadapkan pada sosok seperti Dedi Mulyadi,"ucapnya.

(wip/sud)

Agenda Pilkada 2024

Peraturan KPU 2/2024 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024
2024
22 September 2024
Penetapan Pasangan Calon
25 September 2024- 23 November 2024
Pelaksanaan Kampanye
27 November 2024
Pelaksanaan Pemungutan Suara
27 November 2024 - 16 Desember 2024
Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara

Hide Ads