Calon Wali Kota Bandung nomor urut 3, Muhammad Farhan nongkrong bareng para pengusaha clothing di Trunojoyo, Kota Bandung. Ia ingin mendapat masukan tentang kondisi terkini industri kreatif dan fesyen yang dulu jadi ikon Kota Bandung.
Farhan yang sejak lahir sampai dewasa tumbuh di Bandung, mengenal wilayah Trunojoyo sebagai tempat kumpul merek-merek fesyen kekinian. Trunojoyo bisa dibilang jadi salah satu lokasi yang membuat nama Bandung dikenal dengan kota fesyen dengan segudang kreativitasnya.
Sebagai calon pemimpin ibu kota di Jabar, ia ingin melihat problem yang menghambat kreativitas di Bandung serta cara menyelesaikannya di lingkup pemerintah. Menurutnya, Pemkot perlu memberi jalan seluas-luasnya bagi industri kreatif dengan kemampuan terbaiknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingin mengembalikan identitas Kota Bandung sebagai kota kreatif. Kategori kota kreatif adalah PAD dari industri kreatif harus tinggi. Indonesia bisa disebut negara kreatif karena ke-17 sub sektor ekonomi kreatif sudah 7% mendekati 8%, mulai dari media sampai ke film yang masuk kategori kreatif itu," kata Farhan, Selasa (12/11/2024) sore.
Farhan menyebut, industri fesyen sempat menjadi kontributor tertinggi PAD Bandung. Namun sayangnya, pandemi sempat menurunkan besar capaian untuk PAD, sehingga terganti dengan pendapatan dari pajak kendaraan bermotor dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Maka ada dua strategi yang ingin Farhan lakukan yakni mengembalikan Bandung sebagai kota lahirnya orang-orang berkemampuan kreatif tinggi dan tempat pengembangan SDM. Lalu membangun ekosistem birokrasi yang mumpuni untuk para pekerja kreatif.
"Dalam menghadapi tantangan, pemerintah cukup tugasnya clear, basic, yakni membereskan parkir, tong (jangan) banjir, tong (jangan) macet, itu aja. Maka strategi kedua yakni membangun ekosistem. Misalnya saat membuat perizinan acara, pengusaha bersedia bayar pajak lebih asal Pemkot yang akan handle soal keamanan polisi," ucap Farhan yang disahut setuju para pelaku usaha clothing Bandung.
"Kalau itu selesai, ya bisnis akan berkembang dengan baik untuk mengembalikan identitas. Beri infrastruktur standar dan cari jalan agar orang ikuti regulasi tanpa jadi sasaran. Menurut saya, pemerintah itu kerap tidak hadir. Jadi ke depan, camat pun harus mau ajak rembug kabeh (diskusi semua)," sambung Farhan.
Ia ingin menciptakan ruang dialog antara pelaku bisnis kreatif, sehingga inklusivitas jadi kunci. Sehingga nantinya bukan hanya para pengusaha clothing, tapi juga ruang tersebut terbuka untuk mereka yang ingin masuk ke dunia clothing dengan berbagai karakternya.
Namun bicara soal inklusivitas, Farhan juga mendengar kegelisahan para pelaku akademi kreatif. Mereka ingin Festival Trunojoyo jadi agenda yang diramaikan pengunjung dan lebih terkelola dengan baik. Ia pun sudah memikirkan penyelesaian jika terjadi kendala tersebut.
"Jadi tiap bulan puasa ada juga PKL yang jual barang mirip, sa ayana wae (seadanya), jadi acak-acakan. Padahal harusnya ada yang mengelola. Nggak harus oleh pemerintah. Kalau ada fenomena seperti ini ya cukup ajak ngobrol aja, ajak ngobrol UMKM dan PKL, serta warga. Pastikan festival itu juga mereka terganggu," tutur Farhan.
"Menutup jalan itu boleh tapi diobrolin dulu. PKL harus diberesin, nggak usah bicara regulasi, tinggal kita implementasi ngobrol cari solusi. Kota Bandung ini inklusif atau kota terbuka, siapapun boleh berusaha, asal jangan merugikan orang lain. Jadi tugas saya adalah menjaga dinamika jangan sampai ada yang dirugikan," imbuhnya.
(aau/iqk)