Cabup nomor urut 02, Syakur Amin berbicara banyak mengenai beragam hal dalam debat kandidat Pilbup Garut 2024. Di antaranya adalah beragam strategi dan solusi yang ditawarkan kepada masyarakat untuk memberangus persoalan di daerah dan membawa Garut ke arah yang lebih baik.
Debat kandidat Pilkada Garut 2024 dilaksanakan KPU di Hotel Santika Garut, Rabu (23/10/2024) malam jam 19.00 WIB. Dalam debat, dua Paslon yakni Paslon 01 Helmi Budiman-Yudi Nugraha dan Paslon 02, Syakur Amin-Putri Karlina hadir.
Syakur Amin tampil dan berbicara banyak mengenai solusi mengentaskan beragam permasalahan daerah dan strategi untuk membawa Kabupaten Garut jauh lebih baik. "Kami memiliki 8 agenda transformasi. Hebat ekonominya, pendidikannya, kesehatannya, pemerintahannya dan infrastrukturnya," kata Syakur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian karena kami percaya bahwa Garut akan tumbuh dari desa, maka 3 agenda lainnya adalah hebat desanya, pertaniannya dan pariwisatanya," ungkap Putri Karlina menambahkan.
Syakur menambahkan, jika Paslon Syakur-Putri merupakan Paslon yang unik dan lengkap. Sebab, Paslon tersebut terdiri dari dua sosok yang memiliki latarbelakang yang berbeda. "Kami lintas generasi, lintas gender. Kehadiran Teh Putri di sini akan melengkapi pemerintahan dengan gaya mengayomi yang keibuan," ungkap Syakur Amin.
Dalam proses debat, Syakur Amin menyoroti beragam masalah di daerah yang selama ini timbul. Salah satunya, adalah tidak berjalannya aplikasi pelayanan publik yang dibuat Pemkab.
Berdasarkan data yang disampaikan moderator, di Kabupaten Garut diketahui ada 210 aplikasi pemerintahan dan instansi terkait. Dari jumlah tersebut, hanya 52 aplikasi saja yang berjalan sisanya tidak.
"Pengolahan data jadi kelemahan periode sebelumnya. Banyak aplikasi dibuat, tidak akurat. Sehingga pengambilan keputusan tidak tepat, karena data yang dipakai tidak sinergis," katanya.
"Ini yang akan kita perbaiki sehingga tepat dan efektif kebijakan publiknya," kata Syakur menambahkan.
Persoalan lain yang disorot Syakur, adalah penumpukan sampah yang terjadi di mana-mana. Menurutnya, hal tersebut terjadi selain karena minimnya edukasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah rumah tangga, juga ketidakmampuan Pemkab dalam mengoptimalkan fungsi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Syakur kemudian menawarkan solusi, dengan konsep yang dinamakan Zero Waste. Yakni dengan cara meminimalisir sampah yang terbuang. Sebab, Syakur percaya banyak jenis sampah yang bisa diolah dan menjadi barang bernilai.
"Perlu kesadaran dari hulu ke hilir. Kita tahu, TPA Pasir Bajing di Garut overload. Tidak ada upaya nyata, bagaimana upaya mengelola Pasir Bajing dengan baik. Jadi hanya memindahkan masalah tidak menyelesaikan. Kita butuh bukan hanya wacana, tapi dilakukan segera. Jangan sampai darurat sampah di Garut," ucap Syakur.
Syakur juga menyoroti lemahnya deteksi dini yang dilakukan pemerintahan sebelumnya perkara penanganan stunting. Syakur menilai stunting bisa dicegah sebelum angkanya membludak.
"Stunting di Garut pernah 43 persen. Nah ini salah siapa, kenapa dari awal tidak dideteksi, kenapa tidak bisa dicegah," katanya.
Perkara stunting, Syakur berkomitmen untuk terus menekan angkanya di Kabupaten Garut. Salah satu caranya, adalah dengan mengoptimalisasi upaya pencegahan melalui ujung tombak di tengah masyarakat.
Menurutnya, di bawah kepemimpinan dia dan Putri, posyandu akan diberdayakan lebih baik bersama unsur penggerak kesehatan lain di daerah untuk melakukan deteksi dini, pencegahan dan penanggulangan.
"Bagaimana mereka bisa kerja, kalau insentifnya memprihatinkan. Kita akan perbaiki dari bawah. Insentifnya, alatnya yang memadai, jadi mereka bisa kerja. Sehingga hal yang memprihatinkan tidak perlu terjadi," ucap Syakur.
Terakhir, Syakur juga menyoroti rendahnya angka partisipasi pendidikan masyarakat di Garut. Syakur mengatakan, meskipun Pemkab Garut sebelumnya telah berupaya, tapi jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat, Garut masih tertinggal.
"APM (Angka Partisipasi Murni) kita masih rendah. Apalagi di tingkat SLTA persentasenya hanya di angka 60 persenan saja. Belum lagi di perguruan tinggi. Tentu ini yang menjadi konsen kita. Dan saya, sebagai akademisi insya Allah memahami apa yang harus dilakukan," pungkas Syakur.
(iqk/iqk)