Tak lengkap rasanya merayakan Lebaran tanpa camilan. Sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia melengkapi hari raya dengan aneka hidangan dan camilan. Persiapan dilakukan jauh-jauh hari sebelum Lebaran tiba. Intensitas aktifitas kaum perempuan di dapur akan meningkat sejak memasuki pekan ketiga bulan Ramadan.
Tradisi ini juga berlaku bagi masyarakat Jawa Barat. Banyak sekali ragam makanan olahan khas Lebaran di masyarakat Sunda. Mulai dari manisan kolang-kaling, tape ketan, ranginang, opak, saroja dan lainnya. Keterampilan membuat berbagai makanan itu seolah menjadi kemampuan dasar kaum ibu dan remaja putri.
Baca juga: Makanan Baru Lagi nih, Namanya Croipat |
Namun seiring perkembangan zaman, terutama di wilayah perkotaan tradisi "kaprak-keprek olah" membuat makanan jelang Lebaran itu kian sulit dijumpai. Ketimbang membuat sendiri, masyarakat kini lebih memilih membeli produk makanan yang sudah jadi. Di daerah perkotaan sudah sulit rasanya menjumpai kaum ibu menjemur ulen (uli) ketan atau ranginang. Sudah jarang juga di permukiman tercium aroma wangi kue nastar atau kue saptu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi di sisi lain fenomena itu rupanya membawa berkah bagi masyarakat di perdesaan yang memiliki keterampilan membuat camilan khas tersebut. Seperti yang dialami oleh Naimah (47) di Kampung Nyalindung, Desa Purwaraharja, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya. Warga pelosok selatan Tasikmalaya ini bisa meraup keuntungan dari produksi opak bakar atau beuleum opak.
Beuleum opak ini menjadi salah satu camilan khas masyarakat Sunda. Yang membuat berbeda adalah cara memasaknya yang dibakar, bukan dipanaskan dalam oven seperti opak pada umumnya yang kembung.
"Alhamdulillah berkah di bulan suci Ramadhan, pesanan bisa mencapai puluhan bungkus per hari. Konsumen banyak yang datang langsung kesini," kata Naimah, belum lama ini.
Camilan berbahan dasar tepung ketan itu dijual sekitar Rp 30 ribu per bungkus isi 25 potong. Naimah menambahkan beuleum opak memiliki keunikan dan pangsa pasar tersendiri. "Ada yang suka opak oven, tapi banyak juga yang suka opak bakar. Kalau yang dibakar sensasinya beda, lebih jadul. Bagi beberapa orang sering membangkitkan ingatan masa lalu," kata Naimah.
Dia mengatakan beuleum opak ini dimasak dengan cara dibakar satu per satu di tungku perapian dengan api yang terukur dan durasi yang terukur pula. Karena jika tidak piawai membakar, opak akan gosong. "Untuk melayani pesanan saya libatkan saudara dan tetangga, ya sambil ngabuburit," kata Naimah.
Hal serupa juga dilakoni oleh Teti (48) di Kampung Pasanggrahan, Desa Margalaksana, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya. Bedanya, Teti fokus memproduksi saroja atau kembang seroja. Beberapa daerah menyebutnya keripik kembang goyang.
Saroja juga termasuk camilan khas Sunda yang berbahan dasar tepung beras dan santan kelapa. Yang menarik dari saroja ini adalah cara menggorengnya yang menggunakan cetakan berbentuk bunga berbahan logam. Cetakan direndam di minyak panas, kemudian dicelupkan ke adonan, sebelum akhirnya dicelupkan kembali ke minyak panas dan digoyang-goyang agar saroja bisa lepas dari cetakan.
"Alhamdulillah penjualan meningkat dari tahun kemarin. Untuk yang pesan sudah dari awal puasa, tapi saya bikinnya tanggal 10 Ramadan. Ini sudah ada 100 kantong lebih pesanan yang sudah selesai," kata Teti. Produk Saroja Teti dijual Rp 37.500 per bungkus isi 50 potong.
Kapasitas produksi Saroja yang dilakukan Teti masih skala rumahan dan hanya beroperasi di bulan Ramadan. Dalam sehari dia menghabiskan 2,5 kg tepung beras. "Tepungnya paling 2,5 kg dalam sehari, ditambah aci paling 1,4 kilogram," kata Teti.
(iqk/iqk)