Kawasan Gedung Sate memang tidak pernah mati oleh hiruk-pikuk manusia. Sejak pagi hingga malam buta, tempat yang menjadi markas Gubernur Jawa Barat ini selalu menjadi langganan masyarakat untuk memenuhi hasrat dan tujuannya masing-masing.
Entah hanya sekadar melepas penat, berolahraga, menyuarakan pendapat, hingga menjadi ladang pertarungan mengais pundi-pundi rezeki. Salah satunya Eman, pria asal Cibeureum, Kota Cimahi ini tengah duduk termenung di antara keramaian warga yang berlalu-lalang. Di hadapannya, sebuah toples berisikan kerucut atau cone warna-warni dan termos besar penuh es krim yang diikat dalam troli roda berwarna merah. Meski terlihat sederhana, Eman tetap setia menjajakan kudapan manis ini sejak tahun 80-an.
Baca juga: Intan si Bocah Tangguh dari Sukabumi |
Kepada detikJabar, dahulu Eman kerap memproduksi sendiri es krim dan berkeliling ke seluruh penjuru Bandung Raya. Namun, seiring bertambahnya usia, ia memilih untuk mengambil dari salah satu distributor asal Limbangan, Garut dengan menyetor 120 ribu Rupiah setiap harinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini juga (es krim) nya dikirimin dari Limbangan, cuma diedarin ke (banyak kota seperti) Tasik, Karawang, Purwakarta, ka Pangandaran," ungkap Eman sembari menyiapkan seporsi es krim kepada pembeli.
Lebih lanjut, pria berusia 67 tahun ini selalu memanfaatkan tempat-tempat ramai, seperti sekolah, area wisata, bahkan sampai acara hajatan demi menarik perhatian pembeli. Walau sejak pandemi COVID-19 melanda, Ia lebih sering untuk mangkal di depan kawasan Gedung Sate bersama para pedagang kaki lima (PKL) lainnya.
Meski dirinya menjual makanan manis, namun penghasilan yang didapat cukup miris. Apabila sedang ramai dan habis tanpa tersisa, Eman dalam sehari bisa saja memperoleh hingga Rp 500 ribu. Tetapi jika sedang seret, Ia harus memutar otak agar kebutuhan perut dapat terpenuhi.
"Pernah waktu (tidak laku) itu dapet Rp 40 ribu. Untung aja, yang punya es krimnya (distributor) ngerti kalo lagi nggak laku. Cuma bingung aja buat ngasih ke rumah, soalnya harus dibagi-bagi," ucap Eman.
Belum lagi, Eman pun menyadari jika tempat dirinya berjualan merupakan zona merah yang semestinya haram bagi para PKL untuk berjualan. Alhasil, Ia kucing-kucingan ketika Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tengah menggelar razia, atau terpaksa harus membayar sejumlah denda untuk menebus gerobak kesayangannya itu.
"Udah tiga kali Bapak kena, wah makin puyeng itu buat nebusnya apalagi kalo lagi dikit (penghasilan)," tambahnya.
Terlepas akan hal itu, Eman sebetulnya memiliki tiga anak perempuan yang kini sudah berkeluarga. Sayangnya, mereka kini justru seakan menghilang ditelan Bumi dan tak pernah lagi untuk menjenguknya atau sekedar memberi kabar. Sekalipun, Ia mendengar kabar jika ketiga anaknya itu kini tinggal tak begitu jauh dari kediamannya.
"Kadang suka mikir aja kayak Bapak tÊh bilang kalo punya anak, tapi orang-orang liatnya 'Kok, anaknya nggak pernah keliatan sih?' Terus, kalo Bapak bilang nggak punya anak, kan jatohnya malah dosa," ungkapnya.
Baca juga: Semangat Intan yang Menyala dalam Gelap |
Padahal, hati kecil Eman sebetulnya begitu bergejolak dan mengisyaratkan harapan yang tidak muluk-muluk. Yakni, hanya ingin berkumpul mesra dengan anak-anak dan keluarga barunya itu. Apalagi, dalam hitungan hari bulan suci Ramadan kembali datang dan menjadi momen tepat untuk menyatukan hubungan yang semula renggang.
"Kalo dibayangin mah emang sakit sebenernya, kenapa gitu Bapak udah ngebesarin dan ngedidik mereka baik-baik, kok sekarang jadi begitu? Tapi, sekarang mah (saya) udah ikhlas dan banyak-banyak doa aja, biar mereka kembali lagi seperti dulu," pungkasnya.
(sud/sud)