Kisah tentang Intan, gadis pelajar sekolah dasar (SD) di Sukabumi mendadak viral di media sosial. Narasi penyerta dalam unggahan dalam foto dan video menceritakan kegigihan gadis itu mengenyam pendidikan di tengah keterbatasan menarik simpati publik.
Di balik itu, ada sisi lain yang juga mengunggah rasa iba. Tentang jerat kemiskinan, rumah tak layak, dan belum adanya penerangan yang terpasang di rumah berdinding teriplek degan ukuran kurang lebih 5 x 6 meter persegi. Bisa dibilang rumah itu berada di tengah-tengah hutan di kawasan Perkebunan Sukamaju, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Baca juga: Intan si Bocah Tangguh dari Sukabumi |
Rumah itu dihuni tiga orang, yaitu Erna (47), Intan, dan kakaknya Galuh (17). Di bagian luar terlihat beberapa genting rumah sudah terlepas dari tempatnya, ketika hujan air deras masuk ke dalam kamar dan ruang tengah rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu almarhum suami yang bangun di sini, karena jauh kemana-mana mungkin listrik juga tidak dipasang. Jadi dari dulu sudah terbiasa gelap-gelapan, Intan juga kalau belajar pakai cetir lampu kapas pakai minyak sayur," tutur Erna kepada detikJabar, Kamis (7/3/2024).
Suami Erna, Hasan meninggal dunia 5 tahun silam. Sejak saat itu, Erna menjadi bapak sekaligus ibu bagi 5 orang anaknya. Intan adalah anak bungsu dari 5 bersaudara, dua anak Erna sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Satu sudah bekerja entah dimana dan dua lagi tinggal bersamanya di rumah tersebut.
"Misah rumah, listrik dari dulu pakai minyak sayur pakai sumbu kapas. Intan belajar penerangannya pakai sentir (lampu dari minyak), dulu sekali sekitar 5 tahunan yang lalu rumah ini pernah diperbaiki sama polisi, saya lupa nama-namanya, itu juga waktu suami masih ada," lirihnya.
![]() |
Di bagian dalam rumah itu hanya ada satu ruangan kamar yang disekat dengan ruang tengah dan dapur. Hanya sebagian lantai yang menggunakan keramik, sementara sisanya hanya lapisan semen dan dapur masih berlantai tanah.
Erna memasak dengan tungku kayu bakar, menurutnya harga gas terlalu mahal. Hanya ada satu jendela di rumah itu, itu pun tidak layak disebut jendela karena berupa lubang dengan tutup triplek. Ketika hujan air masuk dengan leluasa membasahi kasur lantai yang berwarna kusam.
"Menjanda sudah 5 tahun ya, sering sakit-sakitan untuk makan kadang dapat ngasih tetangga, kadang juga disisihkan dari uang hasil jualan es mambo Intan. Intan juga seragam dapat ngasih orang, sepatu dan peralatan lain juga begitu, ada yang kasih," ungkap Erna.
Lirih Erna mengungkapkan rasa lelahnya, air mata menetes di sudut matanya. "Ingin saya sehat tidak sakit-sakitan, ingin punya rumah bagus. Ingin membahagiakan anak, jangan seperti saya selama ini enggak pernah merasakan senang. Tapi bagaimanapun saya harus bertahan buat anak-anak saya," tangisnya nyaris meledak, namun tercekat melihat kedatangan Intan putrinya.
![]() |
Intan tersenyum lebar, ia masih mengenakan pakaian seragam sekolahnya. Ia lalu merapikan sepatu miliknya untuk dipakai besok hari. Intan bercerita ia ingin ada penerangan di rumahnya, ia juga berkeinginan untuk punya rumah yang layak. Keinginan itu sementara ini dia pendam dalam-dalam, namun cita-citanya tetap tinggi untuk mengubah kehidupan ibu dan keluarganya kelak.
"Ingin sekolah sampai tinggi, ingin jadi guru, ingin membahagiakan ibu dan keluarga," tuturnya setengah berbisik.
Intan sengaja mengambil korek ke dapur, lampu minyaknya ternyata mati, jari-jarinya terlihat penuh dengan bekas minyak sayur. "Ingin ada penerangan biar enggak gelap kalau belajar malam hari. Kalau malam di sini gelap, karena tidak ada lampu," tuturnya lagi.
Pelita kecil itu menyala, Intan kembali beringsut larut dalam tugas sekolahnya.
(sya/orb)