Nikmatnya aroma dan rasa dari secangkir kopi hitam tak terlepas dari proses panjang yang mengantarkannya hingga bisa dikonsumsi. Saat ini meminum kopi menjadi bagian dari gaya hidup kaum urban.
Proses panjang itu berkaitan erat dengan peran para petani kopi yang menanam, merawat, hingga memanen biji kopi. Seperti halnya yang dilakoni oleh sebagian warga di Kampung Cikoneng, Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.
Meskipun bukan daerah penghasil kopi terbesar di Jawa Barat seperti Puntang, Pangalengan, serta Ciwidey, namun citarasa kopi varietas robusta dari Cililin itu bisa diadu dengan kopi lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya di sini rata-rata jadi petani kopi. Tapi ada juga yang beli terus ngegiling biji kopinya buat dijual lagi," ungkap Lilis (49), salah seorang warga petani dan penjual biji kopi di Kampung Cikoneng saat ditemui, Rabu (13/7/2022).
Sayang kehidupan petani kopi di Bandung Barat, termasuk Lilis masih jauh dari kata sejahtera. Misalnya Lilis, ia menanam pohon kopi di lahan milik Perhutani yang disewa dengan jangka waktu tertentu. Kemudian keuntungan dari panen kopi dibagi dua antara dirinya dengan Perhutani sebagai pemilik lahan.
"Saya punya 1 hektare, tapi lahannya itu milik Perhutani. Jadi bagi keuntungan nanti kalau sudah panen, biasanya itungannya setahun sekali. Ada beberapa blok di sini, ada Blok Gunung Putri ada juga Blok Majapahit," tutur Lilis.
![]() |
Panen kopi biasanya hanya setahun sekali dengan jumlah mencapai 1 ton. Namun jika sedang bagus bisa mencapai 1,5 ton. Untuk memenuhi kebutuhan, terkadang ia juga membeli biji kopi dari petani lainnya untuk dijual lagi ke bandar yang menyalurkan ke konsumen.
"Rata-rata 1 ton, dijual perkilogram itu Rp 20 ribu ke bandar. Jadi di sini ada bandarnya, nanti bandar yang jual ke pasar (konsumen). Ya lumayan buat nambah-nambah biaya sehari-hari," kata Lilis.
Lilis dibantu keponakan dan saudaranya yang lain murni menjadi petani kopi. Artinya, proses penanaman, perawatan, hingga panen dilakukan seorang diri. Proses berlanjut pada pemilahan, penjemuran, hingga penumbukan baik dalam keadaan kering maupun basah.
"Kalau panen ya lumayan jauh, soalnya di atas gunung. Nanti buah (biji kopi) ditutug (ditumbuk), bisa masih basah atau kering," tutur Lilis.
Imam Fauzi (13), merupakan salah seorang keponakan Lilis yang kerap membantu proses panen serta pengolahan biji kopi pascapanen. Bocah yang duduk di bangku kelas 1 SMP itu sudah akrab dengan biji kopi.
"Biasanya bantu panen, bawa 10 kilogram dari gunung ke rumah. Nanti nutug, terus ngejemur, sampai ngegaruk saat dijemur. Lumayan uangnya buat jajan," kata Imam.
Keakrabannya pada biji kopi, membuat Imam juga tak asing dengan kopi hitam dari biji yang ia panen dan olah sendiri. Namun ia tak pandai merasakan kopi seperti apa yang sebetulnya enak.
"Suka ngopi juga, yang penting kopinya manis. Kalau pahit enggak suka," ucap Imam.
(yum/yum)