Institut Teknologi Bandung (ITB) memiliki alat untuk mengubah tanah menjadi logam. Alat itu bernama reaktor plasma hidrogen yang dikembangkan dosen yang konsisten dalam penelitian metalurgi Prof. Dr. Ing. Zulfiadi Zulhan, ST., MT., IPU.
Zulfiadi mengklaim jika reaktor plasma hidrogen yang dikembangkan ITB ini, menjadi yang pertama di Indonesia.
"Yang ini kalau misalnya dilihat saat ini kondisinya seperti itu, kalau kita lihat perkembangan penelitian di tempat lain, ini pertama di Indonesia. Kalau di dunia, ini bukan yang pertama. Di dunia ini, kalau kita baca literatur, sudah dikembangkan di tahun 1960-an. Kemudian di 1970-an, banyak sekali peneliti dari Jepang yang melakukan penelitian mengenai plasma hidrogen," kata Zulfiadi dijumpai detikJabar di Gedung Riset dan Museum Energi dan Mineral belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menurut Zulfiadi di tahun 1980-an, peneliti dari Jerman, Austria, juga ikut banyak melakukan penelitian serupa dan bahkan di literatur yang lain juga ada yang mengatakan bahwa reaktor ini sudah pernah dibuat juga di Rusia.
"Tapi kita nggak tahu jejaknya apakah benar ada atau nggak, tapi yang jelas saya melakukan presentasi sekitar bulan September di China, di Changsha, di Asia Steel Conference, setelah saya selesai presentasi mengenai plasma hidrogen, waktu itu judul presentasinya adalah bagaimana kita harus atau mempertimbangkan kembali reaksi plasma reaktor plasma hidrogen," ungkapnya.
Nama Zulfiadi di dunia metalurgi sudah dikenal ilmuwan dunia, salah satunya karena karya reaktor plasma hidrogen ini. Selain itu, Zulfiadi juga memiliki pengalaman yang tak biasa saat melakukan kunjungan ke luar negeri.
"Saya dihadang oleh orang Ukraina, saya keluarkan kartu nama, saya sudah kenal kamu, tidak usah keluarkan kartu nama, kata dia, kemudian dia katakan informasi ke saya, reaktor yang sama skala pilot sudah ada di Ukraina pada 1970-an katanya. Hari ini bagaimana saya tanya? Tidak ada yang tahu informasinya. Jadi hari ini bisa saja reaktornya ada atau nggak ada, tapi yang jelas hari ini di Austria mengembangkan ke arah pilot, di Eropa sama, mereka sedang melakukan skala pilot, mereka akan mengarah ke pilot terlebih dahulu," ungkapnya.
Zulfiadi memprediksi di tahun 2040-2050-an, reaktor plasma hidrogen ini akan ada di skala industri. Bukan hanya logam besi, logam jenis lainnya bisa dihasilkan melalui reaktor plasma hidrogen itu.
"Yang kami lakukan di lab, sekali lagi, kami tidak hanya menghasilkan logam besi, tetapi yang menjadi kunci di sini juga bagaimana kami menghasilkan logam titanium menjadi perhatian kami hari ini kami juga belum menghasilkan logam titanium. Kemudian proses ini sangat rumit, menggunakan gas klorida. Kami usahakan dengan menggunakan plasma hidrogen ini, logam titanium bisa diproduksi," tuturnya.
Selain logam jenis besi, dari hasil penelitian terbaru reaktor plasma hidrogen ini dapat menghasilkan logam zirkonium.
"Hasil terbaru yang kami dapatkan minggu lalu, dari satu penelitian mahasiswa S2 yang sedang melakukan penelitian dengan menggunakan plasma hidrogen ini, kami bisa membuat logam zirkonium dengan menggunakan reaktor plasma hidrogen," terangnya.
"Itu juga kalau misalnya berhasil, itu bisa mengubah proses-proses sebelumnya yang sangat rumit yang digunakan untuk menghasilkan logam zirkonium," jelasnya.
Lantas, apakah reaktor plasma hidrogen sudah dilirik perusahan yang bergerak di bidang metalurgi?
"Harapannya sih demikian (bisa digunakan industri). Beberapa waktu yang lalu, sudah ada dua minggu yang lalu, sudah ada satu perusahaan menghubungi kami. Bisa nggak kalau reaktor ini diperbesar menjadi skala demo atau skala pilot untuk memproses mineral yang mereka punya, untuk menghasilkan macam-macam? Seperti yang kami sebutkan, menghasilkan logam zirkon, atau mengolah monasit logam tanah jarang, campuran tanah jarang, disitu ada cerium, neodymium, khorium dan seterusnya," kata Zulfiadi.
Menurut Zulfiadi, reaktor plasma hidrogen ini juga bisa menciptakan baja tahan karat dan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan industri metalurgi di Indonesia.
"Bisa saja ini reaktor yang hari ini masih kecil, kemudian dikembangkan menjadi skala besar dan harapannya banyak logam yang bisa diproduksi dengan medal yang prosesnya sangat simpel. Contoh yang paling sederhana, yang sudah kami lakukan, hari ini orang membuat baja tahan karat, itu prosesnya sangat panjang. Pertama harus membuat feronikel terlebih dahulu kemudian menghasilkan Piroklonum terlebih dahulu," jelasnya.
Reaktor plasma hidrogen ini juha sudah digunakan untuk mencampur bijih nikel dengan bijih kromium. Reaktor ini juga bisa menghasilkan stainless steel.
"Itu terus terang saja, di dunia, sepertinya konsep itu belum ada. Di dunia lagi mencari-cari, ditempat lain kalau kita lihat hari ini mereka mencoba menghasilkan stainless steel, mencoba menghasilkan pri kromium dengan menggunakan plasma hidrogen, kalau kita lihat di suatu website di Eropa di tahun ini di bulan April, mereka arahnya ke situ, tetapi kami sudah selesai, penelitian kami sudah selesai, di tahun ini sudah selesai.
"Untuk membuat dalam skala industri yang lebih besar, tentu saja butuh kerjasama lintas disiplin, butuh rekan-rekan dari teknik mesin, teknik elektro, kemudian dari control system, mungkin juga dari teknik kimia yang sama-sama berusaha berpikir, duduk, diskusi, untuk membuat alat ini menjadi lebih besar," ujarnya.
Namun untuk pengoperasian reaktor plasma hidrogen ini penggunaannya harus berhati-hati karena berbahaya. "Yang jadi perhatian utama, alat ini mengapa sulit orang membuat nozzle-nya itu sangat sulit. Itu yang pertama, yang kedua, hati-hati dengan ledakan. Jadi kalau misalnya tidak hati-hati, itu reaktor nya bisa meledak," pungkasnya.
(wip/yum)