Selasa pagi, 12 November 2024, suasana di Laboratorium Pirometalurgi lantai 6 Gedung Riset dan Museum Energi dan Mineral Institut Teknologi Bandung (ITB) terasa sibuk. Meskipun masih pagi, sekitar pukul 07.30 WIB, mahasiswa S1 dan S2 Teknik Metalurgi ITB sudah tampak mempersiapkan peralatan di laboratorium. Mengenakan jas putih, mereka memeriksa dan membersihkan furnace, alat pemanas bersuhu tinggi yang digunakan dalam eksperimen kali ini.
Ada hal yang menarik dari kegiatan praktik mahasiswa yang didampingi oleh Prof. Dr. Ing. Zulfiadi Zulhan, ST., MT., IPU. Mereka akan melakukan praktik pengolahan tanah yang memiliki kandungan bijih besi menjadi logam dengan menggunakan teknologi reaktor plasma hidrogen.
Dalam praktik ini, para mahasiswa berbagi tugas. Ada yang mengatur aliran gas hidrogen, menyiapkan burner untuk menjaga kestabilan api, serta menyesuaikan reaktor yang berfungsi mengubah tanah menjadi logam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Setelah semua peralatan reaktor plasma hidrogen siap, salah satu mahasiswa memasukkan tanah berwarna coklat ke dalam reaktor, lalu menutupnya. Begitu reaktor diaktifkan, muncul cahaya plasma atau pertanda proses reduksi dan peleburan sedang berlangsung. Hanya dalam waktu sekitar dua menit, logam besi berhasil dihasilkan. Logam tersebut berwarna hitam, namun saat digosok tampak perak keabu-abuan layaknya logam pada umumnya.
Prof. Zulfiadi, pengembang reaktor plasma hidrogen pertama di Indonesia, menjelaskan teknologi ini dimodifikasi dari alat plasma cutter. Reaktor tersebut dilengkapi dengan sistem nozzle yang mengalirkan hidrogen.
"Harus hati-hati (saat menggunakan reaktor plasma hidrogen) karena ada hidrogen, ada udara, ada reaksi antara hidrogen dengan udara pada temperatur tinggi (yang) bisa menghasilkan ledakan. Jadi, harus benar-benar dicegah bagaimana caranya supaya udara dan oksigen dari luar itu tidak akan masuk ke dalam reaktor," kata Zulfiandi kepada detikJabar belum lama ini.
Zulfiadi mengklarifikasi bahwa reaktor plasma hidrogen hanya bisa mengolah tanah yang mengandung bijih logam hanya tanah yang memiliki kandungan logam yang dapat dimasukkan dan berubah menjadi logam setelah dilakukan reduksi dan peleburan.
"Sebenarnya kalau kita di tambang atau di metalurgi, kita mengatakan ini bijih atau bahasa Inggrisnya ore. Ini asalnya dari tanah, di suatu lokasi yang dalam hal ini yang digunakan di sini adalah (tanah yang memiliki kandungan) biji besi yang digunakan untuk menghasilkan logam besi. Jadi dengan menggunakan reaktor plasma hidrogen," ungkapnya.
"Kami bisa katakan mengubah (khawatir) banyak orang tidak setuju, tapi memang benar sih dari bijih besi ini, kami bisa menghasilkan logam, logam besi dalam waktu dalam hal ini, 5 gram waktunya 2 menit. Kami juga sudah coba, kalau 3 gram itu (waktunya) 1,5 menit juga sudah cukup menjadi logam," tambahnya.
Zulfiandi kembali tegaskan, tidak semua tanah dapat diubah menjadi logam. Hanya tanah yang memiliki kandungan logam atau bijih besi yang dapat diubah dengan menggunakan reaktor plasma hidrogen ini.
"Tapi hati-hati ya, tidak semua tanah itu bisa diubah menjadi logam, artinya kalau misalnya bapak ibu atau rekan-rekan melihat tanah di depan rumah, kemudian dibawa ke lab, disuruh diubah menjadi logam, kami tidak bisa melakukannya. Jadi hanya tanah-tanah yang ada logamnya. Itu yang mungkin hari ini menjadi salah persepsi di media," tuturnya.
Ia mencontohkan, bijih besi dengan kadar di atas 55% atau bijih nikel dapat diproses dalam reaktor ini. Dengan kapasitas 5 gram bijih besi, proses reduksi hanya memakan waktu dua menit.
![]() |
"Jadi misalnya biji besi itu biasanya kandungan besinya harus di atas, hari ini orang-orang mengatakan 55% itu kandungan minimum, kemudian contoh lain biji nikel juga bisa, kami sudah coba biji nikel itu bisa di ubah menjadi atau di lebur kemudian di proses menjadi feronikel dalam waktu 1,5 menit," ucapnya.
"Yang kami tekankan kepada reaktor plasma hidrogen ini, sebenernya sih bukan istilahnya mengubah tanah menjadi logam, tetapi yang kami tekankan yang paling penting adalah yang pertama kita tidak menghasilkan emisi CO2. Itu pertama yang menjadi keunggulan dari reaktor plasma hidrogen, mengapa kita harus mengembangkannya. Yang kedua, begitu kami coba, itu prosesnya sangat cepat, itu menjadi pembeda dengan teknik teknik yang lain," pungkasnya.
(wip/iqk)