Bulan Haji tengah berlangsung dan jemaah haji dapat beribadah dengan tenang di tanah suci Makkah. Ketenangan dalam beribadah ini merupakan janji Allah SWT yang terungkap dalam Al-Quran.
Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 67 mengisahkan bahwa tanah haram (yang dihormati), yaitu Makkah telah dijadikan sebagai tempat yang aman:
"Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok. Mengapa (setelah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang batil dan ingkar kepada nikmat Allah?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ayat tersebut selain menginformasikan bahwa tanah haram sebagai tempat yang aman, juga memberi tahu bahwa sejatinya di luar tanah itu, terjadi situasi yang tidak aman di mana kelompok masyarakat saling rampok. Perompak padang pasir merajalela.
Namun, pada waktu-waktu tertentu, aksi perampokan berhenti, ada redanya perang antar kabilah. Para perompak yang melihat orang-orang menuntun hewan ternak dengan tanda berupa "Qalaid", akan membiarkan musafir itu melintas, sebab dapat dipastikan itulah orang-orang yang dalam perjalanan haji.
Waktu-waktu tertentu yang dimaksud adalah syahrul hurum atau bulan-bulan yang dihormati. Di antaranya adalah bulan Dzulhijjah yang dikenal sebagai bulan haji. Atribut-atribut jemaah haji dapat dengan mudah dikenali oleh perompak padang pasir, di antaranya Qalaid itu.
Apa itu Qalaid dan bagaimana kisah redanya perang kabilah di tanah Arab? Informasi ini dirangkum detikJabar dari pembacaan atas surat Al-Maidah ayat 97 dalam Tafsir Al-Maraghi susunan Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1881-1945), ulama tafsir kontemporer dan mantan rektor Universitas Al-Azhar.
Berikut ayatnya:
"Allah telah menjadikan Ka'bah rumah suci tempat manusia berkumpul. Demikian pula bulan haram, hadyu dan qalaid. Yang demikian itu agar kamu mengetahui, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al-Maidah ayat 97).
Apa itu Qalaid?
Binatang ternak yang dibawa musafir melintasi padang pasir di Arab merupakan objek empuk perampokan. Bagaimana tidak, di tengah padang tandus, melintas sumber makanan. Merampok binatang ternak milik kabilah lain akan membuat perampok tidak usah susah-susah berburu.
Aksi saling rampok ini berkecamuk. Namun, para perampok tidak berani sedikitpun menyentuh binatang yang bertanda. Tanda itu berupa kalung pada leher hewan ternak itu. Biasanya terbuat dari kulit pohon. Kalung itu disebut "Qalaid".
Hewan ternak yang telah berkalung boleh dipastikan merupakan hewan yang akan dihadiahkan (hadyu) dalam peribadahan haji di tanah suci Makkah. Maka, para perampok tidak akan mengganggunya.
Al-Maraghi memberi definisi: Qalaid adalah hewan-hewan yang telah diberi tanda berupa kalung, yakni hewan-hewan yang digiring dalam perjalanan haji sebagai hadyu.
"Siapa saja yang beranjak menuju tanah suci pada bulan haram (di antaranya bulan haji), maka tak seorangpun dapat merintanginya. Dan barang siapa yang beranjak ke tanah suci bukan pada bulan haram, tetapi bersamanya qalaid yang kalungnya terbuat dari kelupasan kulit pohon tanah haram, maka tak seorangpun akan berani merintanginya," tulis Al-Maraghi.
Redanya Perang Kabilah Arab di Bulan Haji
Dalam menafsirkan ayat 97 surat Al-Maidah tersebut, Al-Maraghi mencantumkan informasi bahwa secara sosiologis, para kabilah atau suku-suku di Arab senang berperang. Pertikaian berisikan aksi saling bunuh dan saling rampok.
"Sesungguhnya orang Arab itu saling bunuh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, saling rampok satu kelompok terhadap kelompok lainya, hingga datang bulan haram," tulis Al-Maraghi.
Bulan haram ada empat, satu di antaranya Dzulhijjah atau Bulan Haji, di masa umat Islam dari seluruh dunia datang ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika datang bulan haji, perang antar kabilah mereda. Redanya perang kabilah ini dikarenakan Allah SWT menjadikan hati-hati orang yang bertikai itu memiliki rasa hormat terhadap bulan haji dan tanah suci.
Al-Maraghi menuliskan kisah bagaimana ketakziman (rasa hormat) orang Arab, sekalipun sebelumnya hatinya diliputi dendam, terhadap bulan haram dan tanah haram.
"Sehingga jika seseorang bertemu dengan laki-laki yang telah membunuh ayahnya, atau telah membunuh anaknya di tanah haram, orang itu tidak akan pernah mau membalaskan dendamnya di tempat itu. Sekalipun seseorang telah melakukan kesalahan, sebesar-besarnya kesalahan, tidak akan ada yang berani membalasnya (di situ dan pada waktu itu)," tulis Al-Maraghi.
Kondisi ini berdampak pada keamanan tanah suci, dan tumbuhnya rasa aman pada hati setiap musafir yang melakukan perjalanan haji. Mereka akan dengan tenang menuntun binatang ternak mereka mencapai kota Makkah, untuk disembelih sebagai hadyu pada rangkaian peribadatan haji.
"Saat datang bulan haram, hilanglah ketakutan. Ini memungkinkan orang (termasuk para kabilah yang berperang) untuk melakukan perjalanan panjang, mengadakan perdagangan, dan situasi tersebut sangat aman bagi diri dan harta mereka. Dan mereka akan mendapatkan bekal yang cukup untuk setahun kemudian. Jika bukan karena itu (redanya perang), mereka sendiri dapat binasa karena kelaparan dan penderitaan," tulis Al-Maraghi.
Demikian sekelumit tentang Qalaid dan kisah redanya perang kabilah Arab di bulan haji yang dikutip dari tafsir Al-Maraghi.
Larangan di Tanah Haram
Kondisi yang dikisahkan oleh Al-Maraghi itu sesuai dengan sejumlah larangan bagi orang-orang yang berada di tanah haram, yang di antaranya dilarang berperang.
Dikutip dari artikel pada detikJabar, buku Fiqih Sunnah dan buku Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah karya Sa'id Ramadhan Al-Buthy menjelaskan empat larangan di tanah haram:
1. Dilarang Berperang
Pada hari Fathul Makkah, Rasulullah SAW menyampaikan khutbah yang berisi tentang pengharaman untuk menumpahkan darah di Tanah Haram atau berperang, "Kota Makkah telah diharamkan oleh Allah, dan ia tidak diharamkan oleh manusia. Tidaklah dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menumpahkan darah di Makkah.
Jika ia diizinkan untuk berperang di Makkah, maka katakanlah, 'Allah telah mengizinkan Rasul-Nya, tetapi tidak mengizinkan kalian. Dan, izin yang diberikan Allah SWT pada Rasulullah SAW itu hanya satu saat di siang hari, tetapi sesudah itu ia kembali diharamkan, seperti hari-hari sebelumnya."
2. Dilarang Membunuh Binatang dan Menebang Pohon
Larangan selanjutnya ialah untuk tidak membunuh binatang dan menebang pohon ketika sedang berada di Tanah Haram. Sebagaimana yang diriwayatkan Ali bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai Madinah, "Tumbuh-tumbuhannya tidak boleh dipotong, binatang buruannya tidak boleh dibuat terkejut..." (HR Abu Dawud & Ahmad)
3. Dilarang Mengambil Barang Temuan
Apabila seseorang menemukan suatu barang, hendaknya jangan diambil karena hal tersebut dilarang ketika sedang berada di Tanah Haram.
Dari Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulullah SAW berujar di hari penaklukan kota Makkah, "...barang temuan tidak boleh diambil kecuali bagi orang yang ingin mengumumkannya." Ibnu Abbas lalu berkata, "Kecuali rumput idzkhir, karena ia tidak dapat ditinggalkan untuk kebutuhan pandai besi dan rumah. Rasulullah SAW bersabda, "Kecuali idzkhir." (HR Bukhari)
4. Non-Muslim Dilarang Memasuki Tanah Haram
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pada surah At-Taubah ayat 28 berisi larangan orang kafir untuk memasuki Tanah Haram. Penggalan ayat tersebut menyebutkan menyebutkan, "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwanya). Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini,"
Larangan-larangan di atas hanya berlaku saat berada di kawasan dua Tanah Haram Makkah dan Madinah. Apabila seseorang berada di luar kedua area tersebut, maka hal yang dilarang tadi dihalalkan.