Hakim Agung Takdir Rahmadi akhirnya memenuhi panggilan untuk menyampaikan kesaksian di Pengadilan Tipikor Bandung. Nama Takdir diketahui terseret dalam pusaran perkara suap MA setelah disebut dua terdakwa, yaitu Staf Kepaniteraan Kamar Perdata (Muhajir Habibie) dan Staf Takdir Rahmadi yang bertugas di Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (Albasri)
Dalam persidangan, Takdir Rahmadi dicecar sejumlah pertanyaan saat ia menjadi Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara 1262K/Pdt.Sus-Pailit/2022 mengenai kasasi kepailitan Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar. Takdir juga dicecar pertanyaan mengenai permohonan peninjauan kembali (PK) Nomor 43PK/Pdt.Sus-Pailit/2022 KSP Intidana.
Takdir lantas menegaskan komunikasinya dengan Albasri, maupun Edy Wibowo selaku asistennya, hanya terkait pekerjaan. Dengan suara yang lantang, Takdir Rahmadi pun membantah menerima suap untuk pengurusan perkara kasasi kepailitan yang diajukan Ketua Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar Wahyudi Hardi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada, di perkara ini tidak ada (bantahan Takdir Rahmadi soal dugaan penerimaan suap)," kata Takdir saat memberikan kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Bandung, Jl LLRE Martadinata, Kota Bandung, Senin (19/6/2023).
Nama Takdir sendiri diseret dalam kesaksian Muhajir Habibie pekan lalu. Saat itu, Staf Kepaniteraan Kamar Perdata Mahkamah Agung tersebut menyatakan Takdir memiliki tarif jika hendak ditunjuk untuk memutus perkara yang jumlahnya bisa mencapai ratusan juta.
Kesaksian ini pun dibantah Takdir Rahmadi. Ia menuding baik Muhajir maupun Albasri yang merupakan stafnya berbohong mengenai dugaan keterlibatan penerimaan suap yang saat sedang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung.
"Salah, tidak benar. Albasri bohong. Muhajir bohong juga. Selama saya jadi hakim, nama Muhajir juga saya tidak kenal," ucap Takdir Rahmadi.
Sementara mengenai PK Nomor 43PK/Pdt.Sus-Pailit/2022 KSP Intidana, Takdir mengaku belum mendapatkan berkas perkara tersebut untuk diteliti. Sebelum resmi disidangkan, Takdir bahkan sudah terlebih dahulu mengundurkan diri dari Ketua Majelis Hakim setelah mengetahui stafnya, Albasri, terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
"PK sudah ada penunjukan majelis, tapi berkas masih ada di Albasri. Secara resmi saya belum menerima, tapi saya tahu ada peristiwa (OTT) itu. Setelah di-OTT, saya tidak bertemu lagi dengan Albasri. Perkaranya belum diputus, akhirnya saya mengundurkan diri," pungkasnya.
JPU KPK Analisa Kesaksikan Takdir Rahmadi
Usai sidang, JPU KPK menyatakan akan menganalisasi kesaksian yang disampaikan Takdir Rahmadi tersebut. Pernyataan dari Takdir pun nantinya akan dihubungkan dengan keterangan saksi lainnya untuk mencari kesesuaian fakta dalam pusaran suap di lingkungan MA.
"Kesaksian ini pasti akan kita analisa, nanti dihubungkan dengan keterangan yang lain. Intinya, semua keterangan saksi yang di sidang ini pasti akan kita analisa, kita sesuaikan dengan keterangan saksi yang lain," ucap JPU KPK.
Untuk diketahui, dalam perkara ini, Hakim Yustisial Edy Wibowo telah didakwa secara bersama-sama menerima suap Rp 500 juta dan SGD 202 ribu. Ia disebut berperan sebagai penghubung ke Hakim Agung Takdir Rahmadi supaya mengabulkan perkara kasasi dengan nomor 1262K/Pdt.Sus-Pailit/2022 yang diajukan Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar, serta menolak permohonan peninjauan kembali (PK) Nomor 43PK/Pdt.Sus-Pailit/2022 KSP Intidana.
Kemudian selain Edy, Wahyudi Hardi selaku Ketua Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar juga didakwa sebagai pemberi suap sebesar Rp 500 juta. Uang itu telah disiapkan supaya permohonan kasasi Nomor 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dari Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar dikabulkan.
Edy didakwa melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan pertama.
Atau Pasal 11 Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan kedua.
Baca juga: 4 Fakta Bola Panas Aliran Suap Hakim MA |
Sementara Wahyudi didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dakwaan pertama.
Atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dakwaan kedua.
(ral/orb)