Pusaran Kasus Suap MA Turut Bongkar Tarif Mahal 'Urus' Perkara

Round Up

Pusaran Kasus Suap MA Turut Bongkar Tarif Mahal 'Urus' Perkara

Tim detikJabar - detikJabar
Jumat, 16 Jun 2023 07:15 WIB
Ilustrasi Hukum
Ilustrasi (Foto: detikcom/Ari Saputra)
Bandung - Tabir kelam di lingkungan Mahkamah Agung (MA) kembali terbuka. Lembaga peradilan tinggi di Indonesia itu rupanya tidak lepas dari benalu yang merusak citra hingga membuat salah satu hakim agungnya, Sudrajad Dimyati dijebloskan ke penjara.

Dari kasusnya Sudrajad Dimyati, bobrok MA perlahan mulai terlihat tabirnya. Salah satunya yang tentu akan membuat siapapun mengelus dada, adalah dugaan munculnya tarif ratusan juta salah satu Hakim Agung untuk bisa memuluskan perkara yang diajukan.

Kesaksian ini disampaikan sendiri oleh Muhajir Habibie, PNS yang bertugas di Staf Kepaniteraan Kamar Perdata Mahkamah Agung. Ia dihadirkan dalam pemeriksaan terdakwa Hakim Yustisial Edy Wibowo sekaligus asistennya Hakim Agung Takdir Rahmadi, Ketua Kamar Pembinaan MA, Rabu (14/6/2023).

Muhajir dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK untuk mengorek dugaan keterlibatan Takdir Rahmadi dalam pusaran suap MA. Sebab diketahui, Takdir merupakan ketua majelis hakim yang saat memutus perkara kasasi kepailitan yang diajukan Wahyudi Hardi, Ketua Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar hingga dikabulkan.

Sementara dalam perkara ini, JPU KPK mendakwa Edy Wibowo secara bersama-sama menerima suap Rp 500 juta dan SGD 202 ribu. Perannya ternyata disebut sebagai penghubung ke Hakim Agung Takdir Rahmadi supaya mengabulkan perkara kasasi dengan nomor 1262K/Pdt.Sus-Pailit/2022 Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar, serta menolak permohonan peninjauan kembali (PK) Nomor 43PK/Pdt.Sus-Pailit/2022 KSP Intidana.

Selain Edy Wibowo, Wahyudi Hardi juga terseret di perkara ini. Ia didakwa sebagai pemberi suap sebesar Rp 500 juta. Uang itu telah disiapkan supaya permohonan kasasi Nomor 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dari Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar dikabulkan.

Kemudian dalam kesaksiannya, Muhajir bisa berperan menjadi penghubung dalam pusaran kasus suap ini berawal dari pertemuannya dengan Wahyudi Hardi pada Agustus 2022. Dari situ ada permintaan dari Wahyudi soal perkara kasasi rumah sakitnya, dan permintaan tersebut langsung dikomunikasi ke Albasri, staf Takdir Rahmadi yang bertugas di Kamar Pembinaan Mahkamah Agung.

Di saat awal pembicaraan dengan Albasri, muncul angka Rp 250 juta yang ditawarkan. Namun, Albasri meminta bayaran tersebut dinaikkan menjari Rp 500 juta. Pengakuan Muhajir, ia sama sekali tidak tahu yang berinisiatif memunculkan angka tersebut untuk memuluskan perkara yang hendak dikawalnya.

"Itu (tarif Rp 500 juta) keluar dari Albasri. Saya tidak tahu itu inisiatif dia atau dari siapa," ucapnya.

Setelah tarifnya disepakati, Albasri kembali mengatakan bahwa perkara kasasi tersebut bisa dikabulkan melalui keputusan majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Takdir Rahmadi. Albasri juga meminta ke Muhajir supaya uangnya segera disiapkan sebelum perkara itu diputus pada 14 September 2022.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Wawan Sunaryanto lantas menanyakan mengenai tarif ratusan juta tersebut. Menurut Muhajir, itu sudah menjadi pola dari dulu jika perkaranya ditangani Takdir Rahmadi, maka harus ada uang terlebih dahulu yang diberikan supaya permohonan yang diajukan bisa dikabulkan.

"Iya, benar. Sama-sama paham dengan Albasri kalau seperti itu (penyerahan uang terlebih dahulu jika ketua majelisnya Hakim Agung Takdir Rahmadi). Saya tidak tahu itu (permintaan) dari Prof (Takdir) atau Pak Edy. Tapi pikiran saya pada saat itu (permintaan dari) Pak Edy. Karena Albasri mengkoordinasikan dulu dengan Pak Edy," tutur Muhajir.

Singkatnya, uang Rp 500 juta lalu disiapkan sebelum 14 September 2022. Duit haram itu kemudian diserahkan Wahyudi Hardi ke Muhajir, lalu diterukan kepada Albasri untuk disetorkan kepada Takdir Rahmadi melalui asistennya Edy Wibowo.

"Setelah sidang, disampaikan Albasri hasilnya sesuai. Putusannya Kabul dan sesuai dengan permohonan Setelah tanggal 14 itu saya bertemu dan Albasri menyerahkan uang Rp 10 juta ke saya. Karena menurut dia, dia dapat uang Rp 25 juta. Uangnya diserahkan di mobil, di parkiran depan masjid Mahkamah Agung," ungkapnya.

Ternyata tak hanya sekali. Perkara suap yang diduga melibatkan Hakim Agung Takdir Rahmadi kembali berlanjut saat ada permintaan untuk menolak PK kasasi kepailitan KSP Intidana. Orang yang memintanya adalah Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma melalui pengacaranya Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno.

Muhajir mengaku mendapat permintaan itu melalui perantara PNS MA lainnya, Desy Yustria. Pada intinya, Desy meminta bantuan kepada Muhajir supaya bisa mengurus penunjukan Hakim Agung yang nantinya bakal menolak permohonan PK yang diajukan.

Dari situ, terjadi obrolan antara Muhajir dengan Desy. Muhajir mengaku sesuai kebiasaan yang telah diamatinya, ada dua kemungkinan Hakim Agung yang akan ditunjuk untuk menjadi ketua majelis. Yaitu Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha dan Hakim Agung Takdir Rahmadi.

Muhajir kemudian menawarkan perkara itu ke Desy diatur supaya ketua majelisnya adalah Hakim Agung Takdir Rahmadi. Sebab ia meyakini, Hakim Agung Takdir Rahmadi bisa memenuhi permintaan dari Heryanto Tanaka cs mengenai penolakan PK kasasi kepailitan KSP Intidana. Alasannya pun kata dia sederhana yaitu Takdir Rahmadi lebih akurat karena sudah ada permintaan di awal pengurusan perkara.

Desy pun mengiyakan rekomendasi Muhajir. Ia lantas meminta bantuan kembali ke Albasri supaya bisa menjadi penghubung ke Takdir Rahmadi melalui asistennya Edy Wibowo. Sampai akhirnya, ketua majelis PK itu pun ditunjuk yang ternyata Takdir Rahmadi.

Muhajir lantas menghubungi Desy kembali supaya segera menyiapkan uang dari Heryanto Tanaka cs selaku pemesan permohonan tersebut. Desy kemudian kata Muhajir, memastikan biaya untuk tidak dikabulkan PK kasasi ini sudah disiapkan senilai Rp 2 miliar. Dalam dakwaan rupanya uang yang disapkan adalah sebesar SGD 202 ribu.

Sebelum uang itu diterima Desy, keduanya sudah sepakat untuk menyiapkan uang sekitar Rp 250 juta untuk Takdir Rahmadi. Sebab menurut keduanya, kisaran tarif penunjukan Takdir Rahmadi sebagai majelis saja mencapai Rp 150-250 juta.

"Apakah ada pembicaraan dengan Desy mengenai seting majelis supaya ke Prof Takdir?" tanya JPU KPK.

"Jadi itu Desy mengharapkan Prof takdir supaya jadi ketua majelisnya. Saya menyampaikan, jadi saya berpikir itu hanya spekulasi saya saja waktu itu. Kan ditanya, kira-kira berapa, mas, kata Desy. Coba Des 250 (Rp 250 juta). Karena range-nya itu dua, 150 dan 250 supaya prof jadi ketua majelisnya," tutur Muhajir.

Menurut Muhajir, uang itu disiapkan hanya untuk kebutuhan setelah Takdir Rahmadi ditunjuk menjadi ketua majelis. Jika perkaranya sesuai pesanan, maka uang senilai Rp 2 miliar sudah disiapkan termasuk dibagi untuk Takdir Rahmadi melalui perantara Albasri ke Edy Wibowo.

Pernyataan Muhajir ini selaras dengan pengakuan Albasri di persidangan terpisah. Albasri mengaku setelah menerima uang Rp 500 juta dari Muhajir lalu diantar ke ruangan asisten Takdir Rahmadi, Edy Wibowo. Dari uang haram tersebut, ia mendapat Rp 25 juta lalu turut dibagi Rp 10 juta kepada Muhajir Habibie.

Kemudian sisanya, diakui Albasri langsung diantar ke ruangan Edy Wibowo. Uang tersebut diserahkan dengan cara dibungkus dalam plastik berwarna hitam dan disimpan di bawah mejanya Edy Wibowo selaku asisten Takdir Rahmadi.

"Betul, uang itu saya simpan di ruang saya. Setelah paginya putus, lalu siang, karena ruangan kosong, uang itu taruh diletakan di meja kerjanya (Edy Wibowo)," ucapnya.

Kesaksian itu ternyata menjadi modal Jaksa KPK untuk membongkar pusaran suap di lingkungan MA yang diduga melibatkan Takdir Rahmadi. JPU KPK Wawan Sunaryanto mengatakan, sampai sekarang pihaknya masih berpegangan kepada kesaksian Albasri, PNS MA yang didakwa menjadi penghubung aliran suap ke Takdir melalui asistennya, Edy Wibowo.

"Kita di perkara ini, pegangan kita saksi Albasri. Sejauh ini, Albasri masih menyampaikan bahwa uang itu sampai ke tangannya Pak Edy," kata Wawan kepada detikJabar, Kamis (15/6/2023).

Wawan mengatakan, Jaksa KPK memang belum menemukan bukti kuat Takdir menerima uang suap tersebut. Namun timnya hingga saat ini meyakini ada sistem berantai yang membuat suap tersebut mengalir hingga ke Takdir Rahmadi.

"Terus kemudian apakah itu uang dari Pak Edy ke Pak Takdir, kita memang enggak ada fakta. Karena kan memang sebenarnya yang dituju itu Pak Takdir, karena perkara itu yang memiliki kewenangan memutus perkara itu Pak Takdir," ucapnya.

"Tapi kemudian ada sistem berantai. Sistem berantai itu enggak akan mungkin ketemu antara pemohon, penghubung sampai pemutus, itu tidak akan ketemu karena sudah ada polanya. Jadi itu akan terputus semuanya (dugaan keterlibatan Takdir Rahmadi)," tuturnya menambahkan.

"Si Albasri ini nggak tahu lagi apakah kemudian sampai ke tangannya Pak Takdir melalui Pak Edy. Itu yang membuat kita untuk menembus ke sana harus punya effort luar biasa," ucapnya.

Namun menurutnya, kesaksian PNS MA lainnya, Muhajir Habibie, bisa menjadi celah bagi KPK membongkar keterlibatan Takdir Rahmadi. Sebab diketahui, Muhajir menyatakan ada tarif yang biasanya diberikan kepada Takdir jika mengurus perkara di MA. Ditambah, jika uang itu diberikan di awal, maka perkara tersebut dipastikan akan diputus sesuai pesanan.



"Jadi dia (Albasri) menyampaikan kepada Muhajir, infonya ini berantai juga. Albasri dapat info dari Edy, Albasri ke Muhajir, Muhajir ke Desy Yustria. Bahwa infonya itu kalau kita mau aman, itu (pakai) Pak takdir pilihannya (ketua majelis hakimnya)," kata Wawan.

"Kenapa? Karena Pak Takdir itu sudah clear dari awal, ketika duit diterima putusan sesuai. Beda dengan Pak Agung. Ketika duit diterima (dengan ketua majelisnya Takdir Rahmadi), maka putusan pasti itu aman," tuturnya.


(ral/dir)


Hide Ads