Kasus tewasnya siswa kelas 2 Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Sukabumi sedang menjadi perhatian publik. Siswa laki-laki berinisial MH (9) itu diduga menjadi korban penganiayaan teman sekolahnya. Psikolog pun memberikan analisis terkait pola perilaku dan langkah penanganan yang tepat untuk menghadapi kasus yang melibatkan anak.
Tenaga Psikolog Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Sukabumi Dikdik Hardy mengatakan, kasus dugaan penganiayaan dapat disebut sebagai perundungan (bullying). Menurutnya, perilaku perundung (pelaku) disebabkan oleh kurangnya pola asuh orang tua dan lingkungan sosial.
"Perilaku pem-bully-an (perundungan) yang disertai kekerasan pada anak dimungkinkan karena lingkungan yang padat, lingkungan yang mentolerir kata-kata atau sikap yang kasar dan lemahnya fungsi kontrol dari pola asuh orang tua," kata Dikdik saat dihubungi detikJabar, Minggu (21/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biasanya perundungan ini dilakukan tidak secara random, korban harus inferior dan pelaku biasanya merasa superior. Makanya ada korban yang tidak bercerita tentang pem-bully-an yang dialami karena takut efeknya akan lebih besar yang ia terima dari pelaku," sambungnya.
Dia melanjutkan, kasus yang terjadi di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi menjadi perhatian khusus negara. Terlebih, korban harus menjalani perawatan di rumah sakit hingga meninggal dunia.
"Karena pelaku ini masih anak artinya negara melindungi hak-haknya tapi tetap tidak mentolerir perilakunya. Biasanya untuk pelaku ini yang harus dilakukan adalah mengkoreksi kesalahan-kesalahan perilakunya bukan si anaknya. Ini sebetulnya kalau disebut darurat nggak juga, karena korban meninggal maka ini jadi bahan perhatian," ujarnya.
Menurutnya, korban kemungkinan memiliki kondisi tubuh yang lemah. Artinya, rentan terhadap pukulan dan itu menjadi salah satu alasan adanya tindakan perundungan.
Guru Harus Lebih Peka
Peristiwa dugaan penganiayaan ini disinyalir terjadi di lingkungan sekolah. Oleh sebab itu, Dikdik menilai, guru harus lebih peka terhadap peserta didiknya karena sejatinya guru adalah orang tua kedua anak di sekolah.
"Sekarang pertanyaannya gini, mereka menjadi guru itu guru sebagai profesi atau guru sebagai pekerjaan. Kalau orang dulu melihat guru sebagai profesi maka mereka punya tanggungjawab moral, bukan hanya akademik tapi juga perilaku anak. (Zaman) sekarang melihatnya guru sebagai pekerjaan, jadi setelah menyampaikan materi ya sudah selesai," ungkapnya.
Dia menjelaskan, lingkungan sekolah memiliki jam pembelajaran terbatas sehingga pelaku seringkali mencari tempat sepi untuk menghindari otoritas dalam hal ini guru ataupun kepala sekolah.
"Jadi kalau dia menghindari otoritas maka yang superior cuman dia. Misal ada guru atau kepala sekolah, dia nggak berani nge-bully karena posisinya di inferior bukan superior lagi. Tapi harusnya memang pengajar itu posisinya sebagai orang tua kedua di sekolah maka dia harus melihat anak-anak itu seperti anak-anak dia," jelasnya.
Menurutnya, guru harus lebih peka ketika melihat perubahan perilaku peserta didik saat di sekolah. Guru pun harus mengarahkan penyelesaian masalah yang berbeda dari biasanya.
"Harusnya bisa membedakan, ada anak murung jangan-jangan ada masalah di rumah, ada masalah di sekolah, ada masalah interaksi dengan teman-temannya. Pertama itu harus lebih peka," ujarnya.
"Kedua posisinya bukan sebagai pemecah masalah. Jadi misalnya ada anak yang satu di-bully dan satu pem-bully, yang satu korban dan satu pelaku, dikumpulin terus berbaikan salaman, nggak gitu. Itu namanya mengambil alih masalah. Yang harus dilakukan pastikan kedua belah pihak itu memang harus menyelesaikan masalahnya sendiri tapi di support," jelasnya.
(dir/dir)