Massa warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Kuningan (Alamku) mendatangi Kantor Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) di Desa Manislor, Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Rabu (10/12/2025). Mereka menuntut komitmen kuat TNGC dalam menjaga kelestarian Gunung Ciremai serta menyelesaikan persoalan pemanfaatan mata air ilegal di kawasan tersebut.
Massa berjalan kaki dari Taman Cirendang menuju kantor TNGC. Setibanya di lokasi, warga menggelar orasi, aksi bakar ban, hingga pertunjukan teatrikal berupa debus yang menampilkan kekebalan tubuh dari senjata tajam.
Koordinator aksi, Yusuf Dandi Asih, mengatakan gerakan tersebut dilakukan karena masyarakat menilai masih banyak persoalan yang belum ditangani serius, terutama soal eksploitasi sumber air yang tidak berizin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama kami menyampaikan bahwa kelestarian alam adalah harga mati. Di sini ada TNGC, jadi kelestarian alam tidak boleh terganggu oleh apapun. Yang kedua terkait pemanfaatan air, kami melihat banyak sekali di Gunung Ciremai pemanfaatan air yang ilegal dan tidak berizin, tetapi itu dibiarkan saja," tutur Yusuf, Rabu (10/12/2025).
Menurut Yusuf, praktik tersebut berdampak langsung pada warga di sekitar Ciremai. Beberapa desa disebut mengalami penurunan debit air hingga kekeringan.
"Yang berdampak terhadap kekeringan pada masyarakat yang ada di bawahnya seperti Desa Cileuleuy, Desa Puncak bahwa hari ini mereka tidak bisa bercocok tanam seperti lima sampai sepuluh tahun yang lalu. Ada penurunan angka panen dan nilai padi di sekitar wilayah Cigugur yang biasanya bisa dua tiga kali sekarang untuk dua kali saja sulit," tutur Yusuf.
Dalam forum audiensi, Yusuf menyebut TNGC mengakui keberadaan sejumlah titik pemanfaatan air yang tidak memiliki izin resmi.
"Setelah ditanya, ternyata ada 15 yang tidak berizin dan itu hanya di daerah Palutungan. Belum Linggarjati, Pasawahan, Talaga Remis dan sumber mata air lainnya," tutur Yusuf.
Kepala TNGC, Toni Anwar, menanggapi aspirasi warga sejalan dengan tujuan TNGC yang memang berfokus menjaga kelestarian kawasan Gunung Ciremai. Ia menjelaskan, ketidaktertiban perizinan air terjadi karena perubahan regulasi pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
"Itu dulu ada perubahan terkait undang-undangnya bahwa tidak boleh memanfaatkan air komersial dari kawasan konservasi. Itu undang-undang dari Kementerian PUPR. Ada larangan, sementara kan sudah ada yang memanfaatkan. Jadi perizinan pada berhenti. Nah sekarang larangan sudah dicabut dengan undang-undang yang baru. Jadi awalnya boleh sampai dilarang tahun 2019. Baru tahun 2025 ini boleh lagi. Karena tahu di seluruh Indonesia banyak pemanfaatan sumber daya air," tutur Toni.
Ia menambahkan, proses perizinan kini berada di pemerintah pusat, sementara TNGC berperan memberi rekomendasi teknis. Karena itu, ia meminta agar masyarakat yang belum memiliki izin segera mengurus legalitasnya.
"Jadi terkait dengan ini, memang ada yang belum berizin. Karena prosesnya di Jakarta dan kami kewenangannya hanya memberi rekomendasi. Jadi terkait dengan perizinan kami meminta agar yang belum berizin itu untuk menyelesaikan," tutur Toni.
Jika izin tidak memungkinkan, pihaknya menyiapkan opsi penertiban melalui integrasi pengelolaan air dengan pihak yang sudah mengantongi izin resmi, seperti PDAM. Toni juga menegaskan adanya ketentuan teknis yang wajib dipatuhi dalam pemanfaatan air konservasi.
"Untuk menertibkannya dengan mendorong mereka yang tidak berizin untuk menginduk kepada mereka yang sudah berizin salah satunya PDAM jadi dia bisa menginduk ke sana. Kalau memang bisa izin sendiri lebih bagus. Nah terkait yang sudah melakukan pemanfaatan kami mendorong agar sesuai ketentuan. Dengan rincian pembagian, 20 persen untuk komersil, 30 untuk non komersial dan 50 persen itu kembali ke alam. Jadi pemanfaatan itu tidak boleh semuanya," pungkas Toni.
(iqk/iqk)










































